Oleh :
Fory Armin Naway
Guru Besar FIP Universitas Negeri Gorontalo dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo.
Kata Ghibah merupakan istilah yang mudah diucapkan, akrab dan dikenal luas sebagai salah satu jenis penyakit hati. Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari, sadar atau tidak sadar, terkadang ghibah atau menggibah menjadi “menu” yang disajika
n atau tersajikan di mana saja dan kapan saja, ada yang menjadi pelaku ada juga yang terseret dalam “majelis” ghibah. Disebut menu, karena menggibah itu sungguh nikmat dan menyenangkan ibarat menyantap makanan kesukaan.
Itulah sebabnya dalam kerumunan ghibah pasti diselingi oleh canda dan tawa yang penuh keceriaan.
Dalam pengertiannya, ghibah berasal dari bahasa Arab ghaaba, al-ghaibaa yang berarti sesuatu yang tersembunyi dari mata atau sesuatu yang terhalang dari pandangan. Dalam Bahasa Indonesia, ghibah bersinonim dengan menggunjing atau membicarakan aib orang lain. Dalam istilah sehari-hari disebut dengan “gosip” dan dalam istilah Gorontalo dikenal dengan “karlota”.
Pemicu ghibah biasanya disebabkan oleh berbagai faktor. Namun yang paling krusial biasanya dipicu oleh rasa benci dan amarah seseorang kepada orang lain. Apalagi jika orang tersebut tidak memiliki fondasi iman yang kuat. Dengan begitu, ghibah sangat terkait erat dengan tingkat penghayatan seseorang terhadap nilai-nilai agama.
Selain itu, karena Ghibah dilarang dalam agama dan sangat terkait erat pula dengan kehidupan sesama manusia, maka ghibah termasuk perbuatan dan tindakan tercela yang dapat meruntuhkan bangunan “hablun Minallah dan hablun Minanas”. Kedua dimensi hubungan itu, sejatinya ditegakkan dengan nilai-nilai ilmiah, akhlaqiyah dan ubudiyah.
Dalam perspektif Islam sudah sangat jelas, hukum melakukan ghibah adalah haram dan sangat dilarang. Hal itu salah satunya tercermin dari firman Allah SWT dalam surah Al-Hujurat ayat 11-12 yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.
Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim,”
Selanjutnya pada ayat berikutnya, Allah melanjutkan: “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik … ” (QS. Al-Hujurat 12).
Pada ayat tersebut di atas, Allah SWT mengibaratkan orang yang suka menghibah itu seperti memakan bangkai saudaranya. Itu artinya, secara metafora aib orang lain itu, benar atau tidak, bukannya dibicarakan atau digunjingkan dengan orang lain, justru sebaiknya sebagaimana bangkai, sejatinya dikubur dalam-dalam.
Abu Hurairah Radhiallahu Anhu meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “tahukah kalian, apakah itu ghibah?” Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, “engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai.
” Selanjutnya, salah seorang sahabat bertanya, “wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku ?” Rasulullah SAW kembali menjawab, “jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya.” (H. R. Muslim).
Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah bersabda : Ketika saya dimirajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka, (HR Abu Daud 4878. Hadis shahih).
Dalam ranah kehidupan bermasyarakat, ghibah, menggunjing, gosip dan apapun namanya, tidak hanya membawa dampak dosa bagi pelakunya, tapi lebih dari itu dapat memicu fitnah, konflik dan memicu terjadinya permusuhan di antara sesama warga yang dapat mengganggu kenyamanan, kedamaian dan ketentraman masyarakat, bahkan dapat mengganggu stabilitas daerah, bangsa dan negara.
Lebih dari itu, ghibah sebenarnya berdampak negatif, karena fokus perhatian yang seharusnya tercurah bagaimana memperbaiki diri dan keluarga, justru beralih pada sesuatu yang bukan urusannya. Akibatnya, energi positif menjelma menjadi energi negatif yang justru mendatangkan mudharat.
Tidak mengherankan, jika ghibah menjadi sangat terlarang dalam Islam, karena dampaknya yang justru meredupkan cahaya Islam sebagai “Rahmatan Lil Alamiin”.
Dengan demikian, ghibah, apapun alasannya terlarang untuk dilakoni. Selain karena menjadi sumber dosa dan sumber persoalan baru, juga berdampak negatif dari aspek kehidupan sosial di tengah masyarakat, baik dalam ruang lingkup persaudaraan, persahabatan, bertetangga dan berkeluarga.
Meski demikian, bagi mereka yang menjadi “korban ghibah” justru patut bersyukur, karena segala amal kebaikan, pahala orang yang suka menggibah itu akan gugur dan dialihkan pahalanya itu kepada orang yang dighibah.
Itu artinya, setiap gunjingan, fitnahan, sama saja seperti memberikan pahala kepada orang-orang yang dighibahinya. Karena, pahala tersebut akan bertambah akibat dighibahi sehingga bisa menghapus sedikit demi sedikit dosa orang yang menjadi korban ghibah.
Untuk itulah dalam kehidupan ini, siapapun yang menjadi korban ghibah” tidak perlu dibalas dengan marah, jengkel, benci dan dengki, tapi dibalas dengan diam, sabar, tabah dan munajat doa yang khusyu’. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (*