Oleh: Mohamad Anugrah E.J. Danial, S.A.P.
(Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Hasanuddin)
Kabupaten Pohuwato, sebuah wilayah di ujung barat Provinsi Gorontalo, menyimpan ironi yang nyata di balik hamparan bukit dan lembahnya.
Di atas tanahnya yang subur dan berhutan lebat, tersembunyi emas yang kini menjadi magnet bagi ribuan orang.
Tapi di sinilah pertanyaan besar hadir dan terus bergema: apakah emas itu membawa berkah, atau justru petaka?
Persoalan pertambangan di Pohuwato bukan sekadar isu ekonomi atau lingkungan. Ia adalah dilema sosial yang kompleks dan menyentuh jantung kehidupan masyarakat: memilih antara mengejar kesejahteraan lewat aktivitas tambang atau menjaga kelestarian lingkungan yang telah menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat.
Ini bukan soal hitam dan putih, melainkan soal bagaimana kita memahami dan menimbang nilai-nilai kehidupan yang saling bertabrakan.
Tambang Dan Janji Kesejahteraan
Bagi banyak warga Pohuwato, terutama yang tinggal di sekitar wilayah tambang seperti Kecamatan Buntulia dan Popayato, tambang emas adalah jalan pintas menuju penghidupan yang lebih layak.
Banyak yang dulunya hidup pas-pasan sebagai petani atau nelayan, kini bisa membiayai pendidikan anak, membangun rumah, atau bahkan membuka usaha kecil berkat hasil dari tambang. Di tengah realitas ekonomi yang sulit, tambang menjadi oase harapan.
Tak sedikit pula yang memilih terlibat dalam pertambangan tanpa izin karena merasa tertinggal dan tidak mendapatkan bagian dari kekayaan daerah sendiri.
Mereka menuntut keadilan ekonomi, merasa hak atas tanah dan sumber daya alam di kampung halamannya telah dirampas oleh perusahaan-perusahaan besar yang datang dengan bendera legalitas, namun sering kali tanpa dialog bermakna dengan masyarakat lokal.
Aksi demonstrasi besar-besaran yang telah terjadi di mana ribuan warga menduduki kantor pemerintah untuk menuntut hak atas pengelolaan tambang adalah puncak gunung es dari akumulasi ketimpangan struktural, kekecewaan terhadap pengelolaan tambang, serta ketidakhadiran negara dalam menjamin keadilan distribusi manfaat sumber daya alam.
Jejak Luka di Tanah Leluhur
Namun, di balik janji kesejahteraan itu, lingkungan Pohuwato kian hari kian terancam.
Sungai-sungai yang dulunya jernih kini mengalir keruh karena limbah merkuri dan sianida dari tambang. Hutan yang dulunya menjadi rumah bagi aneka flora dan fauna kini mulai tergerus.
Lahan-lahan pertanian ikut rusak, dan warga yang menggantungkan hidup dari pertanian tradisional mulai merasa kehilangan ruang hidup.
Tak hanya lingkungan fisik yang rusak, tetapi juga struktur sosial yang mulai tergerus.
Persaingan antar kelompok penambang, perpecahan warga karena konflik kepentingan, hingga meningkatnya kriminalitas di daerah tambang adalah konsekuensi sosial yang sering luput dari perhatian pembuat kebijakan.
Yang lebih menyedihkan, kerusakan ini berdampak pula pada nilai-nilai budaya lokal masyarakat Pohuwato, yang selama ini menjunjung tinggi hubungan harmonis dengan alam.
Dalam falsafah hidup masyarakat Gorontalo yang juga menjadi nafas masyarakat Pohuwato terdapat nilai “Adati hula-hula to sara, sara hula-hula to Kuru’ani” (adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Qur’an).
Ini berarti seluruh tindakan manusia, termasuk mengelola alam, harus berlandaskan etika, spiritualitas, dan keberlanjutan.
Dalam tradisi mereka, alam bukan sekadar benda mati yang bisa dieksploitasi sesuka hati, melainkan titipan Tuhan yang harus dijaga untuk anak cucu kelak.
Maka ketika hutan gundul dan air sungai tercemar, yang terluka bukan hanya tubuh bumi, tetapi juga ruh budaya masyarakatnya.
Di Antara Dua Kutub: Mencari Titik Temu
Pemerintah daerah berada di persimpangan sulit. Memberi izin tambang bisa memicu pertumbuhan ekonomi, tetapi bisa pula mempercepat kehancuran ekologis. Melarang tambang bisa menjaga kelestarian, tetapi juga bisa memicu gejolak sosial akibat hilangnya sumber penghidupan.
Namun justru di tengah dilema inilah kita perlu menumbuhkan harapan baru: bahwa kesejahteraan dan kelestarian tidak harus menjadi pilihan yang saling meniadakan.
Kita perlu membangun skema pertambangan yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan pendekatan partisipatif yang melibatkan masyarakat lokal sebagai pemilik tanah, bukan hanya sebagai objek kebijakan.
Penguatan regulasi, peningkatan pengawasan, pembinaan terhadap penambang rakyat, dan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan harus menjadi bagian dari solusi.
Pemerintah, dunia usaha, tokoh adat, dan masyarakat sipil perlu duduk bersama, mendengar, dan menyusun kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan jangka panjang.
Menghidupkan Kembali Ruh Budaya
Kita juga perlu menghidupkan kembali nilai-nilai budaya lokal dalam tata kelola sumber daya alam.
Masyarakat Pohuwato memiliki kearifan tradisional dalam menjaga hutan, sungai, dan tanah, yang diwariskan secara turun temurun.
Nilai-nilai ini bisa menjadi fondasi untuk menciptakan model pembangunan yang tak sekadar mengejar angka pertumbuhan, tetapi juga menghargai warisan budaya dan ekologi.
Sudah saatnya kita menjadikan budaya bukan hanya sebagai ornamen seremonial dalam acara-acara pemerintah, tetapi sebagai pijakan dalam merumuskan arah pembangunan.
Budaya yang hidup adalah budaya yang membimbing manusia dalam mengambil keputusan moral dan strategis, termasuk dalam hal tambang.
Penutup: Saatnya Memilih Jalan Tengah
Kabupaten Pohuwato berdiri di persimpangan sejarah: apakah ia akan menjadi kisah sukses dari pembangunan inklusif dan berkelanjutan, atau akan menjadi catatan pilu tentang kehancuran yang dibungkus oleh narasi kesejahteraan semu?
Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi harmoni, kita percaya bahwa kesejahteraan dan kelestarian lingkungan bukanlah dua kutub yang tak bisa dipertemukan.
Justru di tengah-tengahnya terdapat ruang dialog, kebijaksanaan lokal, dan inovasi kebijakan yang perlu digali dan dibangkitkan.
Mari kita jadikan diskusi ini sebagai awal dari kesadaran kolektif. Karena di balik pertanyaan tentang tambang, sebenarnya kita sedang ditanya tentang nilai apa yang ingin kita wariskan pada generasi mendatang.
Dan pertanyaan itu, tidak bisa dijawab oleh pemerintah saja. Ia menunggu suara kita semua. (*)











