OPINI PUBLIK

Fenomena Gagal Bayar Dalam Pelaksanaan APBD dan Tantangan di Era Keterbukaan

1488
×

Fenomena Gagal Bayar Dalam Pelaksanaan APBD dan Tantangan di Era Keterbukaan

Sebarkan artikel ini

Ahsan Muhajir, SE, M.Si
Analis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Pelaksana pada BKAD Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan

RGNEWS.COM – Gagal bayar yang terjadi di beberapa daerah terutama pada akhir tahun harus menjadi perhatian serius dan menjadi bahan evaluasi bagi pemangku kepentingan, baik pihak eksekutif sebagai eksekutor maupun pihak legislatif yang menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan.

Fenomena gagal bayar biasa terjadi pada akhir Tahun Anggaran yang berkenaan. Di mana, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) selaku Bendahara Umum Daerah (BUD) tidak dapat membayar sebagian atau seluruhnya, hal ini mungkin saja terjadi karena tidak tersedianya kas sesuai sumber dana yang berkenaan pada Rekening Kas Umum Daerah (RKUD).

Hal ini merupakan kewenangan PPKD selaku BUD, apabila kas daerah tidak tersedia atau tidak mencukupi untuk melakukan pembayaran, meskipun tidak ada satu pasal eksplisit yang menyatakan “BUD dapat menolak SPM karena tidak tersedia kas” namun kewenangan ini tersirat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah yang mengatur secara umum tentang pengelolaan keuangan daerah, termasuk mekanisme pengajuan pembayaran.

Didalamnya diatur bahwa setiap pengeluaran harus didukung oleh dokumen yang sah dan sesuai dengan anggaran yang tersedia, termasuk kewenangan Kuasa BUD tidak menerbitkan SP2D yang diajukan PA dan/atau KPA apabila belanja tersebut melebihi sisa anggaran dan/atau dana tidak tersedia.

Atas dasar tersebut pihak eksekutif selaku Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Bersama Badan Anggaran DPRD yang menangani dan membahas perencanaan dan penganggaran sampai terbentuknya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) segera mengambil langkah agar kejadian serupa tidak terulang di tahun mendatang.

Salah satu kendala yang mengakibatkan fenomena gagal bayar pada pelaksanaan APBD adalah tingginya ekspektasi dalam menyusun Rancangan APBD.

Di mana, dalam pembahasan anggaran hanya pada satu sisi saja yaitu pada sisi pengeluaran (belanja dan pengeluaran pembiayaan) sementara mengabaikan sisi lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu sisi penerimaan daerah berupa pendapatan dan penerimaan pembiayaan, sehingga struktur APBD menjadi tidak sehat.

Sehingga peran penting dalam pencapaian target pendapatan adalah hal yang paling mempengaruhi pengelolaan arus kas daerah, pencapaian target pendapatan menjadi peran penting bagi daerah agar pada sisi belanja tidak terjadi gagal bayar, sehingga dalam menyusun APBD harus memperhatikan capaian atas target pendapatan.

Hal yang menjadi kendala dalam penyusunan Rancangan APBD bahwa dalam penyusunan RAPBD terdapat 2 (dua) proses yang terjadi yaitu proses teknis dan proses politis.

Proses teknis, di mana dalam pelaksanaan penyusunan, pelaksanaan, dan pelaporan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik tertib waktu pelaksanaan maupun teknis penyajian data.

Di sisi lain juga terdapat kebijakan politis berupa kebijakan penyelenggaraan di daerah termasuk sinkronisasi kebijakan nasional berupa pemenuhan mandatory spending, penurunan kemiskinan ekstrim, pengendalian inflasi dan penurunan stunting termasuk program pemerintah yang baru berupa program makanan bergizi gratis.

Dua proses tersebut harus berjalan beriringan dan tidak berfokus pada salah satu sisi saja sementara mengabaikan sisi yang lainnya.

Pemerintah Daerah bersama DPRD dapat berkolaborasi menyusun APBD secara menyeluruh baik pada sisi belanja maupun pada sisi pendapatan dengan memperhatikan proses politik dan proses teknis agar pelaksanaan APBD ke depan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya fenomena gagal bayar.

Di sisi lain, masalah yang menjadi perhatian pada ruang keterbukaan media yang juga memunculkan tantangan tersendiri, yaitu memungkinkan individu yang kurang memiliki pemahaman mendalam tentang suatu isu untuk menyebarkan gagasan atau pendapat yang kurang berdasar terutama pada isu-isu tentang pengelolaan keuangan daerah.

Fenomena ini dapat terjadi karena media, khususnya media sosial, memberikan akses yang luas bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam diskusi publik tanpa adanya filter, validasi dan landasan yang kuat dapat dengan mudah tersebar dan bahkan mempengaruhi opini publik.

Di satu sisi, keterbukaan merupakan wujud dari kebebasan berekspresi yang penting dalam masyarakat demokratis.

Namun, di sisi lain, hal ini juga berpotensi menimbulkan disinformasi, mis informasi, dan bahkan polarisasi.

Seseorang yang tidak memahami kompleksitas suatu permasalahan mungkin hanya mengulang informasi yang salah atau menyebarkan interpretasi yang keliru, yang kemudian dapat diterima dan dipercaya oleh orang lain yang juga kurang informasi.

Hal ini diperparah dengan algoritma media sosial yang cenderung memperkuat echo chamber, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka, sehingga mempersempit perspektif dan memvalidasi informasi yang belum tentu benar.

Menjadi hal yang penting juga bagi setiap individu untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan verifikasi informasi sebelum mempercayai atau menyebarkan suatu gagasan.

Literasi media menjadi krusial dalam konteks ini, agar masyarakat dapat membedakan antara informasi yang valid dan informasi yang menyesatkan.

Selain itu, platform media juga memiliki tanggung jawab untuk mempromosikan informasi yang akurat dan mengurangi penyebaran hoaks atau disinformasi.

Dengan demikian, keterbukaan media dapat dimanfaatkan secara positif untuk pertukaran ide yang konstruktif, bukan sebagai wadah penyebaran informasi yang tidak berdasar. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *