MUHASABAH (PERHITUNGAN)

423
ADV
10

Oleh: Fory Armin Naway
Guru Besar FIP UNG dan Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo

GORONTALO (RAGORO) – Kata Muhasabah sudah sangat akrab di kalangan ummat Islam, bahkan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengikuti perintah bermuhasabah diri.

Secara bahasa, muhasabah berasal dari kata “Hasiba – yahsabu, hisab” yang artinya perhitungan. Muhasabah dengan demikian, adalah upaya untuk “menghitung-hitung kesalahan, kekhilafan atau kekurangan diri untuk kemudian memperbaiki diri dengan berkhtiar berbuat baik dan beramal shaleh.

Dalam terminologi yang lain, Muhasabah memiliki makna yang sama dengan kata “Intropeksi diri”, yakni melakukan koreksi diri, bercermin diri atau evaluasi diri dengan merenung atau mencatat serta mengidentifikasi perangai, tingkah laku dan konsep hidup yang mungkin salah dan tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal dalam pergaulan di masyarakat.

Tidak cukup dengan merenung, muhasabah diri sejatinya diikuti pula oleh komitmen dan tekad untuk tidak larut dalam kubangan kesalahan dan kekhilafan selamanya, melainkan segera menginsyafi semua kesalahan, kekeliruan dan kekhilaffan itu untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi.

Progres hidup sejati, tidak saja diukur dari pencapaian hidup dari aspek yang bersifat “duniawi” semata, tapi progres yang sesungguhnya adalah, perubahan sikap dan perilaku atau akhlak yang kian mencapai kesempurnaan sebagai manusia sejati.

Muhasabah diri, menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang Muslim. Hal itu diisyaratkan dalam Surat Al-Hasyr ayat 18, yang artinya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Momentum penghujung tahun seperti sekarang ini, menjadi saat yang tepat untuk bermuhasabah diri. Paling tidak dalam setahun terakhir ini setiap individu dapat merefleksikan hakekat keberadaannya di tengah keluarga, di lingkungan kerja, di lingkungan tetangga dan di tengah masyarakat pada umumnya.

Dalam menjalani hidup ini, setiap orang dapat diibaratkan seperti berada di bangku pendidikan. Ia tidak hanya melakukan intropeksi diri atas pikirannya sendiri, tapi juga membutuhkan keberadaan guru, teman karib, sahabat dan kerabat sebagai faktor penting yang sejatinya didengar dan dimaknai sebagai salah satu faktor yang teramat penting dalam melakukan intropeksi diri.

Ketika intropeksi diri tanpa “mendengar” nasehat, saran, masukan orang lain, berupa nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan, maka sesungguhnya itu dinamakan “intropeksi membatu” yang akan melahirkan sikap egoisme, keras hati dan merasa paling benar sehingga menempatkan orang lain selalu salah.

Kesadaran hakiki pada dasarnya bermula dari “kelembutan hati” untuk tidak selalu melihat dan mengurai persoalan demi persoalan hidup, hanya selalu melihat dan meninjaunya dari satu sudut pandang diri sendiri (ego sentris), melainkan melihat dan mengurai sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain.

Dalam dunia kerja misalnya, ketika seorang Direktur, pemimpin atau atasan berubah sikap dari biasanya, maka sejatinya sebagai insan yang berakal, berbudi pekerti dan memiliki naluri kemanusiaan, dapat “mengoreksi diri” untuk selanjutnya memperbaiki diri.

Dalam seni permainan Catur terdapat hikmah pembelajaran yang berharga, bahwa naluri sang “pemenang” selalu tidak memperhatikan bidak sendiri, melainkan selalu melihat, mengamati, mempelajari dan mengikuti seksama “gerak-gerik bidak” sang lawan sebagai rujukan untuk gerakan bidaknya.

Demikian juga dalam hidup ini, jika hanya berpikir tentang diri sendiri dan tidak pernah berpikir dan membaca pikiran orang lain, maka hanya akan melahirkan kesesatan dalam berpikir, yakni selalu menganggap diri sendiri yang paling benar dan orang lain salah.

Sesungguhnya, hidup harmoni akan terjalin dengan siapapaun, sepanjang saling pengertian dan saling memahami. Artinya, jangan hanya minta dipahami, tapi tidak pernah mau memahami diri dan orang lain.

Itulah pentingnya bermuhasabah diri, intropeksi diri, mengevaluasi diri atau bercermin diri. Apalagi dalam rangka momentum akhir tahun ini, menjadi saat yang tepat bagi kita untuk “mensunyikan diri” atau menyepi sejenak dalam kesunyian untuk melihat diri secara utuh dan jujur, mulai dari perilaku,sikap, perbuatan, tindakan maupun kompetensi, kapasitas diri, kemampuan diri, performance diri”sehingga akan memperoleh pantulan hidup lebih bercahaya, pikiran menjadi tenang, hati senang, pikiran terbuka dan berkembang bukan selalu tegang.

Itulah sebabnya, bagi orang-orang yang sudah “matang” dan telah melalui sebuah proses hidup yang “keras”, performance kepribadiannya akan selalu memancarkan cahaya “kearifan” dan kebijaksanaan yang mengandung tuntunan.

“kematangan berpikir” itu sangat penting, karena hidup tidak selalu indah seperti dalam angan-angan. Hidup adalah tantangan sehingga butuh tuntunan.

Orang yang kehilangan tuntunan akan selalu “menuntut” karena ia hanya berpikir tentang dirinya sendiri tanpa melihat sudut pandang pikiran orang lain”.

itulah sebabnya, bagi orang tua yang bijaksana di manapun berada. Untuk mempersiapkan generasi yang hebat di masa mendatang, maka paling tidak yang dapat kita lakukan adalah, melatih, mengajarkan, mendidik anak-anak kita tentang arti pentingnya, perjungan, kerja keras dan semangat untuk terus belajar.

Sehebat, sekaya dan sesukses apapun kita saat ini, sejatinya tetap memperlakukan anak-anak kita dengan searif dan sebijaksana mungkin sehingga anak tidak merasa “dimanja”.

Hal itu penting, karena hasil penelitian beberapa pakar Psikologi selama ini menunjukkan, bahwa anak-anak di kalangan orang kaya yang selalu “dimanja”, yakni apapun yang diminta selalu dituruti, ternyata kelak ketika dewasa, ia cenderung menjadi “ego sentris”, yakni menjadi keras kepala, berhati keras sehingga enggan “mengevaluasi diri”.

Akibatnya, ketika keinginannya, harapannya atau apapun yang diinginkannya tidak terpenuhi, ia cenderung menyalahkan orang lain dan enggan mengoreksi diri dan memperbaiki diri. Akhirnya ia menjadi “emosional, penggerutu, berkeluh kesah dan daya juangnya untuk memperbaiki diri menjadi” sangat lemah.

Hasil penelitian ini tentu berbanding terbalik dengan orang yang sejak kecil ditempa dengan kesulitan. Ketika dewasa, ia menjadi sangat arif, berpikir matang dan dewasa, siap menghadapi tantangan dan rintangan dengan perjuangan dan kerja keras, senantiasa mau belajar meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya dan selalu berpikir bukan untuk dirinya, tapi berpikir tentang pikiran orang lain. Selamat Bermuhasabah. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *