KABGOR – Hidup yang dinamis, adalah ketika sikap, perilaku, tindakan, karakter dan mentalitas selalu berubah ke arah yang lebih baik. Hidup dinamis juga berarti, setiap bulan atau setiap tahun terjadi perubahan yang signifikan, tidak hanya dari aspek ekonomi dan status sosial, tapi yang lebih penting adalah perubahan mindset atau mampu merawat pikiran yang konstruktif dan progresif.
Sebagai makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain, maka setiap orang selalu menghadapi persoalan yang biasanya dipicu oleh ketidakmampuan merawat pikiran sehingga muncul “keakuan” atau egosentrisme “.
Artinya egoisme atau egosentrisme yang selalu berpikir tentang “diri sendiri”, terkadang menjadi pemicu lahirnya ketersinggungan dan kesenjangan hubungan, bahkan menjadi penyebab terputusnya hubungan silaturahmi dengan orang lain.
Egosentrisme dalam pengertiannya, adalah suatu kondisi dimana seseorang memberi perhatian atau berpikir tentang dirinya sendiri secara berlebihan dengan mengorbankan atau mengabaikan orang lain.
Egosentrisme, juga dapat dimaknai sebagai ketidakmauan atau ketidakmampuan seseorang untuk melihat segala sesuatu dari perspektif orang lain melainkan selalu melihatnya dari perspektif dirinya sendiri.
Salah satu wujud dari egosentrisme, adalah hanya Ingin dimengerti dan dipahami tapi tidak mau mengerti dan memahami orang lain.
Individu yang egosentris seperti ini, tidak hanya menyusahkan orang lain, membuat orang lain risih dan jengkel, tapi juga sangat kekanak-kanakan. Karena biasanya model orang seperti ini hanya identik dengan anak-anak balita. Bahkan lebih dari itu, tanpa disadarinya, sifat dan karakternya tersebut dapat merugikan dirinya sendiri. Salah satunya akang dijauhi oleh orang lain.
Bagi orang bijak, menghadapi tipe manusia seperti ini, tidaklah sulit, melainkan cukup “memahaminya” saja, tanpa berharap untuk dipahami. Selain itu, sabar dan ikhlas merupakan energi positif yang menjadi kunci untuk membuka ruang ekspektasi, bahwa lebih baik “memahami orang lain” dari pada berharap untuk dipahami, sebagaimana lebih baik tangan di atas dari pada tangan di bawah.
Lebih jauh lagi, esensi kehidupan ini sebenarnya, adalah bagaimana mencapai puncak kebahagiaan dengan berpikir positif dan bersyukur. Pikiran tenang masih lebih baik dari pikiran tegang, hati senang dan jiwa tentram adalah kunci mencapai kehakikian hidup yang sesungguhnya.
Sikap ikhlas, sabar dan berpikir positif menjadi sangat penting, mengingat begitu rumit dan beragamnya karakter setiap orang yang sudah pasti berbeda-beda, Sikap ikhlas, sabar dan berpikir positif tersebut, salah satunya dapat diraih melalui upaya untuk mengasah kecerdasan “beradaptasi” yang kuat.
Alasan lainnya, bahwa hidup ini selalu ada-ada saja tantangan yang membutuhkan siasat agar jiwa tetap tenang.
Oleh karena itu, Prof. Amy Edmonson dari Sekolah Bisnis Harvard, sepertu dikutip Tjahjo Harry Wilopo dalam bukunya Habit Is Power (2021), menganjurkan, agar setiap orang mulai memikirkan secara serius bagaimana mengasah Adaption Quotient (AQ) atau kecerdasan adaptasi. Hal itu penting untuk menyesuaikan diri dengan karakter setiap orang yang memang berbeda-beda.
Bahkan lebih dari itu, kecerdasan adaptasi, sangat penting dalam menghadapi setiap perubahan, sehingga ada semacam kesiapan untuk membangun “new habit” atau kebiasaan baru dengan meninggalkan kebiasaan lama yang bermuatan energi negatif.
Mengeliminir Energi negatif dan menggantikannya dengan energi positif, tidak hanya penting dalam kerangka meraih sukses, tapi juga sangat relevan dengan upaya menjaga kesehatan fisik dan non fisik.,
Orang bijak sering mengatakan, “Jangan membuang-buag energi, waktu dan peluang, hanya karena kecewa dengan sikap orang lain terhadap kita”, Salah satunya selalu berusaha untuk memahami orang lain.
Dengan berusaha memahami orang lain, memahami apa yang menimpa kita, maka setiap individu akan fokus bekerja, abai terhadap gejolak rasa sehingga lebih terkonsentrasi dalam menggapai solusi, cita-cita dan harapan. Berusaha memahami, juga dapat mengarahkan setiap orang untuk bersikap “bodo amat”, tidak perlu reaktif apalagi merespon secara berlebih sikap orang lain terhadap kita.
Kesimpulannya, melawan egosentrisme itu penting, berusaha memahami orang lain juga menjadi sebuah keharusan. Jika setiap individu di dunia ini dipenuhi oleh 2 elemen tersebut, maka alunan irama kehidupan akan tampil lebih harmoni.
Lebih jauh lagi, melawan egosentrisme dan berusaha memahami orang lain, dapat ditempuh pula melalui “berpikir tanpa berpikir”. Konsep ini sebenarnya sangat akrab dengan kehidupan manusia yang dikenal dengan “gerak refleks”. Ketika benda di sekitar kita jatuh secara tiba-tiba misalnya, maka gerak refleks justru sangat membantu sehingga benda itu tidak menimpa kita.
Begitu juga dalam interaksi kehidupan setiap orang. ketika egosentrisme menghentak kehidupan kita, maka “berpikir tanpa berpikir” sangat penting dilakukan. Paling tidak, egosentrisme tersebut, tidak lantas menjebak kita pada kekecewaan atau sakit yang berlebihan, melainkan secara refleks “memahami orang itu, kemudian memaafkan meski tidak mudah melupakan.
Itulah sedikitnya siasat melawan egosentrisme dan berusaha untuk memahami agar hidup dan kehidupan ini memetik kebahagiaan dengan paripurna.
Jadilah seperti laut, meski dialiri oleh puluhan sungai dari berbagai arah dann membawa lumpur hingga airnya berwarna hitam dan coklat, namun semua itu tidak membuat air laut menjadi keruh, melainkan tetap jernih dengan hamparan samudra yang biru. Penyebabnya, karena laut itu dalam dan luas. Hati manusia sebenarnya lebih dalam dan lebih luas dari hamparan samudra atlantik skealipun. Semoga (***)