Headlines

INDIKATOR

117
×

INDIKATOR

Sebarkan artikel ini
Oleh : Fory Armin Naway Guru Besar UNG dan Ketua ICMI Kab. Gorontalo

Istilah “Indikator” sudah sangat akrab dalam keseharian masyarakat, baik di kalangan pemerintahan, institusi pendidikan dan di elemen masyarakat lainnya. Secara umum, kata Indikator memiliki pengertian dan makna sebagai cara untuk mendapatkan nilai dengan wujud ciri-ciri atau gejala-gejala yang dapat menunjukan suatu perubahan sebagai sebuah keterangan bahkan dapat dijadikan bukti terhadap sebuah pencapaian.
Dari pengertian tersebut, maka kata  “Indikator” memiliki ruang dan ekspektasi yang demikian luas, tergantung pada aspek apa yang dibahas, dibicarakan dan didiskusikan. Ada yang disebut dengan indikator keberhasilan, indikator penelitian, indikator kerja, indikator kesehatan, indikator kemajuan dan perkembangan serta masih banyak lagi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indikator memiliki pengertian sebagai suatu variabel yang dapat membantu penggunanya dalam kegiatan pengukuran berbagai macam perubahan yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung. Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI menjelaskan bahwa pengertian indikator adalah sesuatu yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan.
Pengertian Indikator Menurut Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Kesejahteraan Amerika Serikat (1969) adalah statistik yang dapat ditunjukkan dengan gejala bahkan dengan angka-angka yang bersifat normatif dan  dapat membantu seseorang dalam membuat penilaian ringkas, komprehensif dan berimbang terhadap kondisi-kondisi atau aspek-aspek penting dari suatu aspek tertentu di tengah masyarakat.
Ditinjau dari “fungsinya”, indikator adalah bagian yang teramat penting untuk menjawab  berbagai pertanyaan-pertanyaan guna memberi penjelasan yang dapat menjadi bukti untuk mengukur suatu klaim atau suatu kondisi tertentu.
Dari berbagai pengertian tersebut, maka kata atau istilah indikator tidak hanya digunakan sebagai pendekatan kelembagaan dan institusional, tapi juga dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dalam perspektif kolektif dan individual.
Dalam konteks ini, satu hal yang sangat penting dan relevan untuk dimaknai dari kata “Indikator” dalam perspektif tulisan ini adalah, sejauhmana tingkat keberhasilan seseorang dalam menggapai makna spiritual ibadah Puasa Ramadhan 1443 Hijriyah yang baru saja ditunaikan oleh ummat Islam.
Hal itu penting sebagai wahana untuk melakukan perenungan, muhassabah atau intropeksi diri, apakah Puasa Ramadhan 1443 Hijriyah tahun ini benar-benar memberikan nilai positif dalam kehidupan kita sebagai  makhluk Tuhan dan makhluk sosial. Bagaimanapun juga, puasa bukan hanya sekadar ibadah ritual dan rutinitas tahunan, tapi lebih dari itu, kewajiban puasa pada hakekatnya mengandung nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan dan nilai-nilai kehidupan lainnya secara universal. Paling tidak, puasa berbicara tentang nilai-nilai ketakwaan yang secara manifestatif dapat menggeja dalam kehidupan seseorang.
Artinya, dalam 12 bulan yang dilalui sepanjang tahun, apakah puasa selama sebulan penuh atau 29 hari lamanya tersebut, mampu memberikan nilai bagi kehidupan kita selama 11 bulan berikutnya.
Dalam tataran ideal, sejatinya, puasa dapat memberikan pengaruh besar terhadap perubahan hidup seseorang ke arah yang lebih baik. Jika sebelum puasa Ramadhan lalu misalnya, seorang umat belum konsisten dalam ibadah ritual dan ibadah sosial, atau masih sering meninggalkan Sholat 5 waktu, masih sering menggunjing atau masih sering alpa dan khilaf sehingga melakukan perilaku-perilaku destruktif, maka sejatinya setelah bulan Ramadhan, maka gejala itu tidak lagi mengemuka dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, yang sangat penting untuk dijawab oleh siapapun adalah pertanyaan, apakah puasa bulan Ramadhan 1443 Hijriyah yang telah berlalu ditunaikan, benar-benar berhasil, baik berhasil dalam konteks “Hablun Minnallah dan Hablun Minnanas.
Untuk menilai tingkat keberhasilan tersebut, maka indikator-indikator terhadap hal itu dapat dilihat dari “perubahan” yang terjadi yang menggeja dalam keseharian, minimal dalam 11 bulan ke depan. Indikator tersebut juga dapat digunakan sebagai barometer untuk mengukur apakah puasa kita “diterima” atau tidak oleh Sang Maha Kuasa Allah SWT.
Itulah sebabnya, puasa sebulan Ramadhan dapat dimaknai sebagai “perisaI” atau modal dasar dalam menjalani hidup 11 bulan berikutnya. Dengan demikian, pasca puasa Ramadhan seoran muslim bukanlah “terbebas” dari berbagai kekangan hawa nafsu, tapi “tercerahkan” .
Paling tidak, puasa sebagai wahana mencapai derajat “Takwa” memiliki dampak lahirnya 2 elemen penting dalam hidup seseorang, yakni “kontrol diri” dan “kepekaan sosial” yang tinggi.  Kontrol diri, menurut Calhoun dan Acocella (1990), adalah kemampuan individu untuk memandu, mengarahkan dan mengatur perilakunya dalam menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari hal yang tidak diinginkan oleh agama, tidak dinginkan oleh orang lain. Semisal menyakiti hati orang lain, sombong, angkuh dan sebagainya.
Sementara kepekaan sosial adalah, selalu menaruh rasa empati kepada penderitaan atau kesusahan orang lain. sikap-sikap individualisme, materialisme dan hedonisme bukanlah tabiat Islam. Oleh karena itu, puasa yang dilakukan adalah sebagai wahana menempa seorang muslim hingga memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Puasa Ramadhan yang telah berlalu dengan begitu, tidak hanya berlalu begitu saja, tapi memberi dampak positif terhadap kehidupan seseorang, antara lain; kontrol diri atau pengendalian diri dan kepekaan sosial yang tinggi. Jika hal itu menjelma dalam kehidupan setiap muslim, maka puasanya tidak hanya “diterima” dan berhasil tapi juga menjadi indikator penting, bahwa puasanya bukan hanya sekadar rutinitas tahunan, tapi memberi makna bagi pencerahan hidupnya. Bagaimanapun, pengendalian diri merupakan “titik sentral” yang sangat penting sebagai “perisai yang sangat tajam” untuk mengamputasi dorongan hawa nafsu yang terkadang liar. Semoga (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *