GORONTALO (RGNEWS.COM) – Anggota Komisi I DPRD Provinsi Gorontalo, Femy Udoki mengungkapkan kekhawatirannya terkait aktivitas kelompok pekerja seni transgender. “Saat ini kita hanya fokus pada bagaimana membatasi aktivitas mereka diberbagai acara, namun di dunia maya, aktivitas mereka sangat lancar bahkan bisa ditonton banyak orang. Ini juga yang harus kita pikirkan bagaimana solusi konkritnya, ” kata Femy pada Rapat Koordinasi Lintas Sektor, membahas Kelompok Pekerja Seni Trangender, diaula rujab Wakil Gubernur Gorontalo, Selasa (27/05/2025).
Aleg yang juga wartawan senior ini mengungkapkan kekhawatirannya, karena saat ini konten konten di sosial media cenderung lebih disukai dan ditonton oleh banyak orang, terutama anak muda. “Ini yang sulit untuk kita kendalikan. Karena kita tidak bisa melarang satu persatu orang untuk berhenti menonton konten konten mereka,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Gorontalo, mengatakan apapun alasannya tindakan menyimpang ini tidak dibenarkan, sehingga ia berharap pertemuan ini memberikan rekomendasi yang baik, karena apapun yang diputuskan nanti, kelak akan dimintai pertanggungjawaban diakhirat. Senada dengan itu, perwakilan Kemenag Provinsi Gorontalo, meminta agar Perda Pencegahan Maksiat yang dibuat pada 2003 harus dikaji kembali, termasuk juga perda ketertiban umum dan perlindungan masyarakat.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Idah Syaidah yang memimpin rapat mengungkapkan bahwa pemerintah provinsi berkomitmen mencari solusi yang tepat, meskipun menyadari adanya keterbatasan, seperti perbedaan pandangan dalam peraturan daerah. “Kenyataannya di lapangan, ada individu yang secara fisik telah bertransformasi dan tampil seperti perempuan. Ini menjadi tantangan tersendiri,” lanjutnya.
Ia juga menyinggung laporan yang diterima oleh Komnas HAM terkait perlakuan diskriminatif dan keterbatasan akses terhadap pekerjaan yang dialami oleh kelompok ini. Pemerintah, lanjutnya, ingin mendorong solusi berbasis pendekatan sektoral, misalnya dalam dunia kerja, dengan tetap mempertimbangkan identitas hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
“Pada dasarnya, tidak ada larangan bagi siapa pun untuk bekerja. Namun, penampilan di ruang publik menjadi isu yang sering diperdebatkan, baik yang menyangkut kelompok transpuan maupun perempuan biologis yang dianggap terlalu vulgar dalam penampilannya,” ungkap Idah. ***