- Editor : Sahril Rasid
- Kontributor : Tauhid Arif
GORONTALO (RGNEWS.COM)—Tidak adanya representasi Gorontalo inilah memicu kekecewaan.
“Sedangkan kaluar dari Sulut (pisah setelah pemekaran) boleh. Apalagi cuma pisah dengan Bank Sulut,” begitu ucapan kekecewaan dari Walikota Gorontalo, Adhan Dambea melihat penetapan formasi komisaris di RUPS luar biasa.
Tidak diketahui jelas apakah kekecewaan Adhan adalah bagian dari perasaan kolektif Gorontalo.
Bagi Adhan, formasi komisaris yang sudah ditetapkan melalui RUPS LB yang dilaksanakan Rabu 9 April kemarin, tidak mencerminkan keseimbangan “torang samua basudara”.
Bahkan dia mengancam, akan keluar dari BSG dan memotori pembentukan BPD Gorontalo.
Terlepas pernyataan Adhan adalah bagian dari strategi untuk melakukan penguatan bargaining di formasi direksi atau hal lain, namun ancaman Walikota ini sebisa mungkin bukanlah cerminan Utuh Gorontalo.
Sebab, bila saja, Gorontalo sepakat keluar dari BSG dan membentuk BPD sendiri, maka eksistensi BSG di gorontalo akan sangat berpengaruh pada roda usaha BSG secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui, secara kolektif, saham Gorontalo (provinsi dan kabupaten-kota) total berada di posisi ketiga terbesar, yakni 18,59 persen. Atau berada di bawah Mega Corpora (24,82 persen) dan Pemprov Sulut (35,88 persen).
Meski saham hanya 18 persen lebih, tapi keberadaan BSG di Gorontalo sangat strategis.
Misalnya, kalau saja benar benar pisah, mencari saham pengganti tentulah tidaklah sulit.
Tapi tak sekadar persoalan mencari pesaham baru. Mungkin saja, mega corpora bisa menutupinya. Atau ada investor baru yang masuk.
Tentu persoalannya bukan di situ. Pasar BSG yang sudah terbentuk di Gorontalo, jadi persoalan sangat pelik dan krusial yang akan dihadapi BSG.
Bisa dibayangkan, bila semua PNS di Gorontalo tidak lagi berhubungan dengan BSG. Para pemkab dan Pemkot juga sudah tidak melakukan transaksi di BSG. Apa jadinya?
Contoh kecil saja ketika Bupati Bolmong era kepemimpinan Yasti dan Walikota Kotamobagu Tatong Bara “keluar” dari BSG, ‘torang pe bank’ ini sedikit kelimpungan.
Kalau saja benar benar Gorontalo secara kolektif tidak memanfaatkan jasa BSG, dipastikan akan menghadapi guncangan hebat dalam perjalanan operasional BSG ke depan.
Minimal, laba BSG jadi lebih menyusut. Itu akibat kehilangan pasar yang sudah terbentuk di gorontalo. Apalagi, BSG, dominan ditopang oleh PNS dan anggaran-anggaran dari pemerintah daerah.
Karena itu, kekecewaan yang diperlihatkan Walikota Gorontalo ini perlu disikapi secara arif oleh pemegang saham pengendali, dalam hal ini Gubernur Sulut.
Karena secara garis komando birokrasi, tak ada hubungan yang melekat dengan Gorontalo.
Berbeda misalnya, bila kekecawaan itu mumcul dari pemegang saham para bupati dan walikota di Sulut. Gubernur dengan kewenangannya gampang membujuk lantaran adanya garis pimpinan dan bawahan.
Sebisa mungkin, apa yang dikecewakan walikota Gorontalo ini tidak menjadi kekesalan kolektif Gorontalo.
Di sinilah ujian pertama yang akan dihadapi Gubernur Yulius Selvanus. Apakah Gorontalo bisa terus dirangkul atau keinginan provinsi tetangga ini dibiarkan begitu saja.
Sebagaimana diketahui, formasi komisaris yang sudah ditetapkan masing-masing, Ramoy Markus Luntungan (Ketua Tim Pemenangan YSK-Victory),
Jafar Alkatiri (Tim pemenangan YSK-Victory/ representasi umat Islam), Sachrul Mamonto (Mantan Bupati Boltim/ Ketua Nasdem Boltim) Jaclyn Koloay,
mantan anggota dewan Minsel/ anggota tim pemenangan YSK-Victory) dan Max Kembuan (Wakil dari Mega Corpora). *****