SECARA etimologi kata Kunut (bahasa Arab: Qunut) memiliki beberapa arti dan makna, di antaranya berdiri lama, diam, selalu taat, tunduk, doa dan khusyuk. Sedangkan secara istilah, kunut adalah doa yang dibaca seorang muslim dalam Sholat (Subuh). Pada bulan suci Ramadhan,istilah Qunut dimulai pada tanggal 15 Ramadhan yang mengindikasikan,bahwa umat Islam yang menunaikan ibadah puasa lebih khusuk lagi beribadah, melakukan itikaf di Mesjid, bermuhasabah dan memperbanyak amalan-amalan, baik dalam bentuk ibadah ritual maupun amal shaleh lainnya seperti bersedekah, menyantuni anak yatim dan sebagainya. Yang menarik, dalam perspektif masyarakat Gorontalo sejak dulu, Qunut atau “Quunu”, tidak hanya dimaknai untuk memperbanyak ibadah dan amalan serta beri’tikaf di mesjid, tapi juga dimanifestasikan dalam sebuah tradisi “makan pisang dan kacang” yang dilakoni oleh setiap keluarga. Mereka berkumpul bersama, biasanya di teras rumah (to dulodehu) sambil bercengkrama, bersuka ria sembari menikmati sinar bulan purnama. Tidak jarang juga melibatkan para tetangga yang sengaja datang untuk bergabung. Namun dalam perkembangannya, tradisi “Hui Lo kunu dirayakan secara meriah dan besar-besaran di Batudaa Kabupaten Gorontalo. Di tempat ini para pengunjung dapat memilih berbagai jenis pisang untuk dinikmati dengan kacang tanah bersama kerabat dan sahabat. Sejauh ini tidak ada catatan atau manuskrip yang menulis sejak kapan tradisi Hui Lo kunu di Batudaa dan sekitarnya ini berawal. Yang tersisa dari penuturan para sesepuh Gorontalo bahwa tradisi malam qunut dengan makan pisang dan kacang ini, sebagai bentuk ungkapan syukur karena telah mampu menanjak menunaikan separuh bulan suci Ramadhan dan tinggal separuh waktu lagi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik, Allah SWT. Namun sebagai sebuah tradisi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai budaya, maka tradisi malam qunut dengan menikmati suguhan Pisang dan kacang ini, mengandung seberkas nilai untuk dimaknai dengan logika berpikir yang konstruktif. Budaya sebagaimana asal katanya yang berarti akal budi atau manifestasi dari kekuatan akal yang selanjutnya menjelma dalam berbagai bentuk ekspresi, termasuk pertunjukan selalu mengandung nilai-nilai pengajaran, memiliki muatan edukasi bagi eksistensi kemanusiaan. Pemaknaan terhadap tradisi malam kunut, dimana pisang dan kacang sebagai brandingnya ini, dilakukan melalui pendekatan bahasa, dalam hal ini bahasa Gorontalo. Paling tidak, melalui pendekatan ini, di satu sisii akan menambah perbendaharaan wawasan ke-Gorontaloan sekaligus untuk menggali dan mengangkat kembali makna dari sebuah kata dan kalimat dalam Bahasa Gorontalo yang selama ini sudah sangat jarang digunakan dan terdengar di tengah masyarakat, terutama oleh generasi mudanya. Pada zaman dulu, ketika sekolah sebagai institusi pembelajaran belum ada, maka salah satu wahana pengajaran yang paling efektif adalah melalui simbolisasi peradatan, diantaranya, melalui gerakan, ucapan (Loiya) atau melalui bahasa tutur dan melalui berbagai benda, tumbuhan dan simbol-simbol lainnya. Hal ini dapat dilihat, ditelusuri dan dimaknai dari ritual adat “motolobalango” “Mome’ati, Moluna dan sebagainya yang selalu menghadirkan simbolisasi melalui “hungo Lo ayu” (buah dari beragam tumbuhan atau tanaman. Dalam konteks tradisi malam qunut yang identik dengan pisang,kacang, kemudian “dulodehu” ternyata menghadirkan nilai-nilai pengajaran dengan simbolisasi yang membutuhkan daya nalar dan daya berpikir, untuk kemudian menghasilkan sebuah formulasi wawasan yang menjadi kaidah, sumber referensi, yang kelak bisa saja menjadi “Paduma” atau pedoman hidup yang bersifat universal. Pisang dalam bahasa Goruntalo dikenal sebagai “Lambi” dan jika buahnya sudah masak berwarna kuning disebut “Lutu”. Pisang adalah jenis tanaman yang tidak hanya memiliki puluhan jenis ragamnya, tapi juga mengandung nilai filosofisnya yang menginspirasi. Karakter yang melekat dalam pohon pisang misalnya, selama belum berbuah ia seakan belum rela mati. Pisang yang belum berbuah, meski ditebas batangnya, besok lusanya akan tumbuh lagi. Pisang rela mati jika ia sudah berbuah dan telah menghasilkan tunas sebagai penerusnya. Hal ini mengandung makna kesejatian manusia yang harus memberi manfaat bagi orang lain sebelum tiba waktunya untuk pulang ke haribaanNya. Ia sudah ikhlas mati ketika dirnya telah memberi buah kebaikan bagi kehidupan orang lain. Buah pisang yang baik adalah yang masak di pohonnya dan itu butuh kesabaran untuk menunggunya, pisang yang tidak baik adalah “pisang karbitan” buah pisang yang masak karena dipaksa dan direkayasa. Hal ini sekaligus mengandung ibrah bahwa jadilah matang secara alami yang sudah melalui tempaan dan proses yang panjang, bukan matang tiba-tiba karena hanya sebuah rekayasa. Demikian juga dengan kacang kulit yang mengingatkan hakekat manusia yang akan kembali ke tanah. Itulah sebabnya, kacang jenis ini disebut juga dengan kacang tanah. Padahal banyak juga jenis umbi-umbian yang juga buahnya dari dalam tanah tapi tidak disebut “ubi tanah”.melainkan ubi kayu. Itulah kecerdasan leluhur Gorontalo zaman dulu yang mewariskan nilai-nilai edukasi melalui simbolisasi beragam tumbuhan yang memiliki karakteristik dan karakter tersendiri yang kemudian disimbolkan dalam peradatan dan tradisi. Bahkan Kacang tanah juga menjadi sumber pengajaran kepada manusia untuk tidak melupakan hakekat asal, sebagaimana ungkapan “Kacang lupa akan kulitnya” Kacang dan pisang dalam tradisi malam qunut di Gorontalo pada zaman dulu biasanya dinikmati bersama keluarga di teras rumah atau “Dulodehu” dan ditengah sinar bulan purnama. “Dulodehu” atau duledehu mengandung arti ” mari menjatuhkan”, yakni di bulan Ramadhan ini adalah momentum untuk meniadakan sifat-sifat buruk dan menjatuhkan pilihan hidup kepada hakekat sifat manusia yang sesungguhnya. Relevansinya dengan qunut sebagai momentum untuk berdiam diri, beri’tikaf dan khusyu beribadah, salah satunya adalah bermuhasabah dengan mengambil ibrah atau pegajaran dari filosofi pohon pisang yang enggan mati sebelum bermanfaat hingga muncul sebuah tekad yang kuat untuk berbuat dan terus berkarya sebelum ajal tiba. Demikian juga “kacang tanah” dapat menjadi salah satu sumber bermuhasabah, betapa manusia yang berasal dari tanah dan akan kembali ke dalam tanah.Dengan menghadirkan simbolisasi pisang dan kacang tanah pada malam qunut itulah, maka 2 pekan puasa ke depan akan lebih khusyu lagi beribadah dan senantiasa menebar kebaikan kepada sesama. Bukan sebaliknya menyebar ke pusat-pusat perbelanjaan, menjadi konsumtif dan hedonis. Selamat menunaikan ibadah puasa. (*)
Malam Qunut dan Tradisi “Quunu” di Gorontalo (Batudaa)
