KAMPUS (RAGORO) – Pusat Al Islam Kemuhammadiyahan (AIK) dan Pendidikan Latihan Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMGO), Jum’at kemarin (4/2) menggelar Kajian Pekanan di Masjid Yusuf Polapa.
Agus Salim Lamusu, M.Pd selaku Kepala Pusat AIK UMGO dalam pengantarnya menyampaikan, bahwa untuk menjaga spiritual pimpinan, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa, maka setiap Jum’at AIK mengisi kajian pekanan. Dan kali ini temanya tentang Moderasi Beragama.
Terkait tema ini, Anggota BPH, H. Rizan Adam, M.Hi selaku pembawa kajian menjelaskan, bahwa Islam dan Berislam itu berbeda. “Islam itu sudah final atau Qotli, sementara berislam itu adalah bagaimana menjalankan ajaran islam,” tukasnya.
Sama halnya dengan Moderasi Agama dan Moderasi Beragama. Moderasi Agama itu sudah Sunnatullah, sementara Moderasi Beragama adalah moderasi yang bisa dipahami sebagai moderat, alias penengah atau wasit. “Jadi moderasi beragama itu adalah cara pandang beragama yang tidak ekstrim kiri dan tidak ekstrim kanan atau Islam Wasatiyah (tengahan),” terangnya.
Perlu diketahui, bahwa Muhammadiyah adalah Ummatan Wasatan, yakni ummat yang tidak tradisional dan tidak terlalu bebas atau liberal. “Contohnya, dalam hal penggunaan Bismillah, Muhammadiyah tidak mengeraskan bacaan Bismillah dan juga tidak meniadakan Bismillah. Karena ada pendapat Bismillah bukan bagian dari Al Fatihah,” tambahnya menjelaskan.
Jadi, lanjutnya, untuk memahami Moderasi Beragama perlu memahami istilah Tawasul, yaitu selalu mendekatkan diri kepada Allah, Iftidal yaitu tegak lurus ketika memahami perbedaan yang tajam, Tasamu yaitu selalu memahami perbedaan, menghargai perbedaan, Lakum Dinukum Waliyadin, yaitu bagiku agamaku dan bagimu agamamu.
Untuk sesama ummat Islam, tidak boleh saling mengklaim yang paling benar dan yang lain salah. Dalam hal ini, dikenal istilah Syura, yaitu prinsip Musyawarah. “Keputusan bersama atau kolektif kolegial, itu yang terbaik, maka moderasi beragama juga jalan tengah,” paparnya.
Sebelumnya Wakil Rektor II, Dr. Salahudin Pakaya dalam sambutannya sedikit menyentil persoalan rutinitas manusia. Menurut dia, sebagai manusia biasa, merasa bosan dan jenuh dalam bekerja itu manusiawi. “Sedikit
kisah tentang seorang teknisi pesawat yang dalam rutinitasnya mulai mengalami titik jenuh hingga mau berhenti. Singkat cerita, dalam perjalanannya si teknisi pesawat tersebut tiba-tiba mendapat bisikan yang memberi dia isyarat. Jika dia berhenti dan tidak hati-hati dalam melakukan tugasnya, maka pesawatnya akan rusak dan ratusan orang akan meninggal. Seketika gemetarlah hatinya, hingga kemudian dia memilih untuk tidak berhenti. Mulai dari saat itu karena panggilan spiritual, maka si teknisi meniatkan bekerja karena ibadah,” ungkapnya. Sesuai pantauan awak media, hadir dalam Kajian Pekanan tersebut yakni para pimpinan, dosen, tenaga kependidikan dan mahasiswa program berasrama. (rg-63/HMS)