GORONTALO (RAGORO) – Gorontalo memang negeri istimewa. Betapa tidak, Provinsi yang baru berusia 20 tahun ini punya banyak tokoh nasional, punya Pahlawan Nasional, bahkan punya mantan Presiden.
Tidak hanya itu, Gorontalo juga punya sejarah hebat, dimana Gorontalo lebih dulu merdeka dari Indonesia, karena pada 23 Januari 1942, Gorontalo sudah memploklamirkan kemerdekaan.
Sehingga itu, setiap 23 Januari, rakyat Gorontalo selalu memperingatinya, termasuk kemarin, dimana organisasi masyarakat Gorontalo, Lamahu Pusat memperingatinya secara nasional di Jakarta dengan berbagai kegiatan, termasuk ziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
Sementara acara syukurannya berlangsung di Nusantara 4 yang dihadiri oleh sejumlah pengurus Kerukunan Keluarga dari berbagai daerah, diantaranya Kerukunan Keluarga Kalimantan Selatan, Kerukunan Keluarga Kalimantan Barat, Kerukunan Keluarga Maluku, Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara, Kerukunan Keluarga Papua, Kerukunan Keluarga Sulawesi Utara, dan Kerukunan keluarga Sulawesi Selatan.
Hadir beberapa Jenderal, antara lain, Irjen Pol. Roney Sompie yang juga Ketua Kerukunan Warga Kawanua Sulawesi Utara, dan Mayjen TNI (Purn) Afanti Uloli. Ketua Lamahu Pusat, Fadel Muhammad mengatakan saat menjabat Gubernur Gorontalo dua periode, Fadel setiap tahun mengintruksikan penyelenggaraan peringatan Hari Patriotik 23 Januari layaknya Hari Proklamasi Kemerdekaan RI.
Teman-teman di Jakarta bertanya, apa hebatnya Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 sampai harus disandingkan dengan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Rupanya banyak masyarakat Indonesia yang tidak tahu, apalagi generasi milenial, bahwa sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, daerah Gorontalo telah lebih dahulu memproklamasikan kemerdekaannya lepas dari penjajahan Belanda, yaitu pada hari Jumat tanggal 23 Januari 1942.
Pada hari itu, pemerintah Hindia Belanda dan aparatnya ditangkap dan ditawan, bendera Merah Putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya dikumandangkan, dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.
Peristiwa ini dikenal dengan Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 di Gorontalo yang dipimpin oleh seorang ‘petani-pejuang’ Nani Wartabone (1908-1986), yang mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun 2003.
Para sejarawan menyebutkan bahwa ‘proklamasi kemerdekaan’ tersebut mirip atau menyerupai Proklamasi Kemerdekaan RI oleh Soekarno–Hatta tanggal 17 Agustus 1945 (yang juga jatuh pada hari Jumat).
Nani Wartabone yang didaulat sebagai ketua Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) menyampaikan ‘pidato kemerdekaan’ didampingi wakilnya, RM Kusno Danupoyo (semacam ‘dwitunggal’ Gorontalo) di hadapan rakyat Gorontalo yang sudah berkumpul di alun-alun Kota, depan Hotel Saronde kini.
Mereka menaikkan bendera Merah-Putih sembari menyanyikan lagu Indonesia Raya (saat itu belum pakai lirik ‘merdeka-merdeka’ tetapi ‘mulia-mulia’).
Lalu, Nani Wartabone berpidato singkat sebagai berikut: “Pada hari ini tanggal 23 Januari 1942 kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas lepas dari penjajahan bangsa manapun juga. Bendera kita yaitu Merah-Putih, lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
Pemerintahan Belanda sudah diambil alih oleh Pemerintah Nasional. Mari kita menjaga keamanan dan ketertiban”. Tanpa mengecilkan arti Hari Proklamasi RI 17 Agustus 1945, karena dari segi waktunya Hari Patriotik 23 Januari 1942 lebih awal dibandingkan Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, maka Hari Patriotik 23 Januari 1942 layak disebut sebagai Hari PRA-PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI.
Kelengkapan prosesi proklamasi Hari Patriotik 23 Januari 1942 dengan Proklamasi Hari Kemerdekaan RI memiliki kesamaan pola yaitu adanya momentum kekosongan kekuasaan (vacuum of power), menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, pengibaran bendera merah putih, pembacaan teks proklamasi. Pola ini menunjukkan relasi yang kuat antara Hari Patriotik 23 Januari 1942 dengan Hari Proklamasi RI Tahun 1945.
Diskusi bisa berkembang, bila kita hanya menyoroti dari sudut pandang ruang yang memang masih bersifat lokal kedaerahan, akan tetapi dari sudut pandang waktu ‘proklamasi kemerdekaan’, ini jelas mendahului Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dari aspek substansi dan konten proklamasinya, bukanlah proklamasi kemerdekaan lokal, tetapi menyebutkan kemerdekaan ‘bangsa Indonesia’ dengan pemerintahan nasional, bendera dan lagu kebangsaan. Ada teori yang mengatakan peristiwa semacam itu adalah pengisian kekosongan kekuasaan (vacuum of power theory).
Belanda tidak lagi berkuasa dan Jepang akan segera datang, jadi peristiwa itu terjadi tanpa ada perjuangan fisik kemerdekaan dan perebutan kekuasaan.
Benarkah demikian? Saya mendapat jawaban dari literatur sejarah bahwa ternyata Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 tersebut terjadi perebutan kekuasaan (coup d’tat) terhadap pemerintah Hindia Belanda di Gorontalo. Nani Wartabone dkk berhasil menguasai seluruh kota dan menawan seluruh personil Belanda.
Selesai penangkapan, Nani Wartabone segera menggelar pertemuan dengan pejabat bawahan pemerintah Hindia belanda, yaitu para Jogugu dan Marsaoleh agar mendukung gerakannya.
Terbentuklah Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) yang diketuai Nani Wartabone dan wakilnya RM Kusno Danupoyo, dengan anggota inti berasal dari Komite-12 dan wakil-wakil partai dan organisasi yang ada di Gorontalo (GAPI Cabang Gorontalo).
Badan Pemerintahan Militer dipimpin Nani Wartabone yang berkedudukan sebagai Panglima Angkatan Perang atau Komandan Militer bagi daerah Indonesia Gorontalo merdeka.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 adalah gerakan perebutan kekuasaan dan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia skala lokal dengan simbol nasional (lagu kebangsaan dan bendera Merah-Putih). Peristiwa 23 Januari 1942 di Gorontalo terjadi setelah meletusnya Perang Pasifik Desember 1941.
Ketika itu Jepang telah terjun ke kancah perang dengan menyerang Pearl Harbour 8 Desember 1941. Jenderal AH Nasution menulis kenang-kenangan khusus ketika meninggalnya Nani Wartabone (Maret 1986): “Dengan pimpinan Nani Wartabone dan kawan-kawan menggeser kekuasaan Belanda dengan gilang gemilang, adalah hari yang pantas dicatat di dalam rangkaian ukiran sejarah perjuangan fisik, dan perlu kiranya diketahui oleh seluruh warga negara Indonesia, agar sesuatu yang berharga di tubuh Ibu Pertiwi ini tidak hilang ditelan waktu begitu saja.
Perlu disadari bahwa di masa lampau dalam situasi dan kondisi waktu itu adalah langka untuk mencari seorang pimpinan yang berani, jujur dan cerdas seperti yang dilahirkan oleh bumi Gorontalo.
Semangat 23 Januari 1942 adalah pencerminan watak manusia merdeka yang ikhlas mengorbankan segala-galanya demi untuk kemerdekaan”.
Akhir tahun 1950 Nani diangkat sebagai pejabat sementara Kepala Daerah menggantikan abangnya, Ayuba Wartabone yang sakit. Ia sempat menerima kunjungan Presiden Soekarno pertama kalinya ke Gorontalo tahun 1950 yang mendarat di Danau Limboto dengan pesawat ampibi di desa Iluta, kecamatan Batudaa.
(Saat saya menjabat Gubernur Gorontalo, rumah pendaratan Bung Karno di Iluta itu saya minta direnovasi Pemprov Gorontalo dan diresmikan sebagai Museum Pendaratan Soekarno oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada 29 Juni 2002). Perjuangan Nani Wartabone tidak pernah berhenti.
Ia berjuang dengan “pasukan rimba”-nya melawan PRRI/Permesta. Ia tampil kembali merebut kekuasaan dari pemerintahan PRRI/ Permesta1958. Konsistensi perjuangan dan nasionalisme Nani Wartabone sangat diakui oleh Jenderal TNI AH Nasution.
Beliau menulis (Maret 1986): “Nani Wartabone adalah teladan pejuang yang konsisten. Tak banyak pejuang kita yang demikian, karena itu perjuangannya haruslah disejarahkan kepada generasi-generasi mendatang, karena konsistensi adalah prinsip ke 1 dalam ilmu strategi pejuang”.
Di bagian akhir tulisannya ia menyatakan: “Saya tak menduga bahwa saya akan jadi teman seperjuangan dekat dengan tokoh historis ini, yakni di masa terjadinya pemberontakan PRRI/Permesta yang dibarengi intervensi tertutup Amerika Serikat tahun 1958-1961.
Maka kesekian kalinya tampillah pejuang patriot perwira Nani Wartabone dengan prakarsa yang amat saya hargai selaku KASAD/Penguasa Perang yang dewasa itu dapat tugas memulihkan keutuhan dan keamanan seluruh RI”.
Kutipan tulisan AH Nasution itu berikut dokumen dan foto peristiwa Gerakan Patriotik 23 Januari 1942 disimpan pak Zain Badjeber di Arsip Nasional (ANRI) dan copynya diberikan kepada saya.
Zain Badjeber adalah mantan hakim, mantan anggota DPR/MPR-RI, yang beberapa kali mewancarai langsung Nani Wartabone dan RM Kusno Danupoyo (Gubernur Lampung pertama). Nani Wartabone wafat pada 3 Januari 1986, hari Jumat.
Saat itu Gorontalo diguyur hujan lebat, diiringi hujan air mata ribuan warga Gorontalo yang mengantarkan jenazahnya di desa kelahirannya, Bube, Suwawa.
Setelah perjuangan panjang, syukur alhamdulillah akhirnya Nani Wartabone mendapat gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan 2003.
Anugerah diserahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri kepada salah satu ahli warisnya, H Fauzi Wartabone pada 7 November 2003, hari Jumat.
Pada saat memperjuangkan perolehan gelar pahlawan tersebut, saya sebagai Gubernur Gorontalo kala itu berbincang dengan Presiden Megawati dan beliau mengatakan bahwa almarhum Nani Wartabone sudah beliau kenal sejak kecil bersama Bung Karno sebagai pejuang kemerdekaan. Wajar dan patut beliau mendapat gelar Pahlawan Nasional. (awal-46)