Penulis/Editor : Sahril Rasid
GORONTALO (RG.COM)—Sejauh ini pemerintah termasuk di Provinsi Gorontalo menjadikan indicator penyebab stunting karena factor ketidakkemampuan ekonomi.
Tapi ternyata factor kurangnya kesadaran mengkonsumsi makanan sehat menjadi penyebab utama dari stunting khususunya bagi kalangan balita.
Inilah yang terungkap saat orientasi gerakan Aisyiyah Sehat (Grass) dalam Cegah Stunting “ penuh gizi ibu dan bayi tanpa sekental manis” yang berlangsung di kafe anjungan DC Kota Gorontalo Selasa (10/10/2023) kemarin.
Dialog yang digagas Aisyiyah Gorontalo bekerja sama dengan etua Harian Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia YAICI, dengan pemateri Dra Chairunnisa Mkes (Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah) dan kepala Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo Anang S. Otoluwa.
Awalnya lebih banyak mengupas tentang bahayanya Susu kental manis yang mestinya tidak dikonsumsi anak usia balita, 0-12 tahun.
Tapi faktanya di Indonesia khususnya Gorontalo, susu kental manis dianggap orang tua bisa dikonsumsi oleh anak usia balita.
Padahal ini sangat berbahaya, bahkan bisa berakibat fatal yakni kematian. Ketua Harian YAICI, Arif Hidayat SE mengakui di beberapa daerah ditemukan ada balita yang meninggal karena menkonsumsi susu kental manis.
“ Di Gorontalo hasil survey di lakukan di daerah lain masih ditemukan pemahan susu kental manis bisa dikonsumsi anak balita. Padahal itu sangat berbahaya dan tidak bisa diberikan,’ tukas Arif Hidayat.
“ Ini diakuinya tidak lepas dari propaganda iklan, yang memberi gambaran seakan akan anak anak hingga kakek nenek cocok menkonsumsi susu kental manis,” katanya.
Bahaya susu kental manis bukan hanya kalangan balita. Tapi orang dewasa penderita diabetes.
“ Susu kental manis yang ditambah gula itu tidak baik untuk tubuh, inilah yang tidak dipahami oleh masyarakat,’ katanya.
Mestinya, sebagai daerah penghasil ikan. Konsumsi ikan akan jauh lebih untuk kepentingan bagi masyarakat khususnya keluarga di Gorontalo.
Sekalipun diakuinya prevalensi stunting Gorontalo masih diatas ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 23,8% dan menjadi salah satu yang tertinggi di Indonesia.
Diantara faktor penyebab tingginya angka stunting ini berkaitan dengan angka kemiskinan ekstrem Gorontalo yang mencapai 4,28%.
Selain itu, penyajian makanan lauk tinggi protein masih belum menjadi budaya konsumsi masyarakat. Masyarakat lebih lebih memilih menjual ikan hasil tangkapan daripada disajikan sebagai hidangan rutin keluarga.
Hasil dari penjualan biasanya dibelikan bahan pangan lain yang lebih kekinian seperti mie instan, makanan-makanan yang dibekukan bahkan kental manis yang sejatinya bukan susu.
Dalam sosialisasi yang diselenggarakan oleh PP ‘Aisyiyah bersama Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) di Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo, Kader kesehatan dan masyarakat Kota Selatan Gorontalo diajak
Untuk membangun budaya baik pemenuhan gizi seimbang dengan konsumsi makanan tinggi protein dan membatasi konsumsi garam, gula dan lemak harian.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo Dr dr. Anang Otoluwa, M.K.M SAAT sosialisasi mengatakan bahwa masalah gizi di Gorontalo salah satunya diakibatkan karena adanya kesalahan persepsi mengenai pangan di masyarakat.
Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo juga akan mulai melakukan sosialisasi mengenai kental manis bukan susu mengacu pada Peraturan Kepala (Perka) BPOMNo.31 Tahun 2018tentang Label Pangan Olahan.
“Selain peraturan pemerintah tadi kita akan mulai menyadarkan masyarakat supaya memiliki kesadaran agar tidak mengonsumsi kental manis” Terang Anang.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Gorontalo sekaligus Ketua Pimpinan Wilayah Majelis Kesehatan Aisyiyah Gorontalo dr Yana Yanti Suleman, SH secara tegas mengatakan
Pernikahan dini juga memiliki kaitan dengan tingkat permasalahan gizi yang ada di Gorontalo selain angka kemiskinan ekstrem.
Ia meyakini bahwa kesiapan umur seseorang menikah mempengaruhi kesiapan mental dan kognitif orang tua yang nantinya akan menjadi faktor penentu pemenuhan gizi anak oleh orang tua.
Menurutnya semakin siap umur orang tua, maka pemberian gizi tidak tepat seperti kental manis bagi balita tidak akan terjadi.
Maka dari itu, menurut Yana, perlu adanya bombardier informasi tentang kental manis bukan susu, sama halnya dengan kampanye pencegahan pernikahan dini untuk merubah persepsi masyarakat. Sehingga angka pernikahan dini dan stunting di Provinsi Gorontalo dapat berkurang.
“Sama halnya dengan kampanye pencegahan nikah dini, kampanye kental manis bukan susu juga akan menemui tantangan. Oleh karena itu perlu adanya bombardier informasi dari seluruh pihak termasuk media massa tentang kental manis bukan susu”. Tutup Yana.
Dari segi bahasan gizi klinis Dr dr. Ceci Karim, Sp, GK spesialis gizi klinis dari Rumah Sakit (RS) Aloei Saboe mendetilkan bahwa kental manis melalui proses pengawetan dan penambahan gulanya sangat tinggi sehingga gizinya menjadi sangat kurang dan tidak baik dikonsumsi oleh bayi atau balita.
“Kenapa kental manis tidak baik dikonsumsi? karena proses pemanasan atau pengawetannya sangat tinggi dan penambahan gulanya juga sangat tinggi, 40 – 50% kandungan gulanya sehingga gizinya sudah sangat kurang padahal anak butuh asupan gizi yang seimbang”. Terang Dr dr. Ceci Karim, Sp, GK
Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah, Dra. Chairunnisa, M.Kes mengatakan sebagai salah satu organisasi Perempuan terbesar yang juga memiliki kader kesehatan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Melalui program GRASS PP Aisyiyah berkomitmen bergerak secara berkelanjutan dari pusat hingga ranting untuk selanjutnya bergerak selaras dengan pemerintah dan YAICI untuk menyelesaikan permasalahan stunting yang ada di Indonesia.
“Setelah pelatihan ini, GRASS akan menjadi program berkelanjutan dan juga merupakan program nasional bagi Aisyiyah yang harus dijalankan dari tingkat pusat hingga tingkat ranting. Jadi tidak selesai sampai sini tapi berkelanjutan” Papar Dra Chairunnisa M.kes
Selain seminar Majelis Kesehatan PP ‘Aisyiyah bersama YAICI selain menggelar sosialisasi juga melakukan kegiatan lapangan berbentuk edukasi door to door ke masyarakat di Kabupaten Gorontalo.
Ditemukan dalam kunjungannya, ternyata semua keluarga yang didatangi masih menganggap kental manis adalah susu yang dapat diberikan secara rutin bagi balita. Bahkan dari sample yang di datangi ada dua keluarga yang memberikan kental manis bagi anak sejak lahir.
Arif juga mengatakan bahwa, sejatinya permasalahan ini dapat diselesaikan jika adanya upaya yang terencana dari seluruh pihak khususnya pemerintah dalam membentuk budaya konsumsi dan pemberian pangan tinggi protein bagi balita melalui sosialisasi dan program berkelanjutan.
“Aisyiyah sudah bergerak dengan GRASS-nya untuk mengedukasi masyarakat tentang gizi, dan YAICI juga sudah lakukan edukasi kental manis bukan susu serta pemenuhan gizi seimbang pada masyarakat Indonesia.
Pemerintah dalam hal ini tidak boleh absen dan perlu merancang program berkelanjutan yang membentuk budaya konsumsi dan peberian pangan tinggi protein bagi balita” Jelas Arif.