Abdul Samad Hiola
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Lingkungan Universitas Negeri Gorontalo/Dosen Fakultas Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Universitas Gorontalo)
Dua puluh empat tahun sudah Gorontalo berdiri sebagai provinsi mandiri. Pemekaran dari Sulawesi Utara pada 2001 disambut euphoria dan harapan besar: daerah akan lebih maju, kesejahteraan meningkat, pembangunan merata.
Tapi hari ini, ketika kita berdiri di tepi Danau Limboto yang terus menyusut, atau menyaksikan hutan-hutan gundul di lereng-lereng Pohuwato, pertanyaan mengganggu muncul: apakah ini yang dimaksud dengan kemajuan? Paradoks Gorontalo adalah cermin sempurna dari dilema otonomi daerah di Indonesia.
Di atas kertas, angka-angkanya mengesankan. Ekonomi tumbuh 5,14 persen, Indeks Pembangunan Manusia mencapai 72,01—angka yang cukup membanggakan untuk provinsi muda.
Investasi triwulan pertama 2025 mencapai Rp 1,28 triliun, naik 78 persen dibanding tahun sebelumnya. Gubernur dan kepala daerah berbaris di podium, memamerkan prestasi pembangunan di depan kamera.
Tapi ketika kamera dimatikan dan kita melangkah ke kampung-kampung, ke pesisir, ke desa-desa di sekitar tambang, cerita yang berbeda mulai terungkap.
Cerita tentang Danau Limboto adalah yang paling menyayat. Pada 1932, danau ini membentang 7.000 hingga 9.000 hektar—hampir seukuran 10.000 lapangan sepak bola.
Danau yang jadi jantung kehidupan ribuan nelayan, sumber air bagi pertanian, penyangga ekosistem Gorontalo.
Tapi tahun 2017, danau ini tinggal 3.100 hektar. Lebih dari setengahnya menguap, tertimbun sedimen, berubah menjadi rawa dan sawah.
Bukan karena bencana alam, tapi karena keputusan-keputusan manusia: penebangan hutan di daerah aliran sungai, alih fungsi lahan tanpa perhitungan, dan pengelolaan tata ruang yang abai pada prinsip keberlanjutan.
Tapi kerusakan Limboto hanya puncak gunung es. Di pesisir, hutan bakau—benteng alami terhadap abrasi—rusak 17,9 persen atau seluas 3.084 hektar. Mangrove-mangrove ini dibabat untuk tambak, pemukiman, dan infrastruktur.
Tahun 2024, Gorontalo mencatat deforestasi tertinggi di Sulawesi untuk provinsi kecil: 2.180 hektar hutan hilang dalam setahun. Angka yang fantastis untuk provinsi yang luasnya tak sampai 1,2 juta hektar.
Tutupan hutan yang dulunya lebih dari 705 ribu hektar kini terus tergerus. Dan di balik angka-angka ini, ada satu pelaku utama: pertambangan.
Inilah jantung masalah Gorontalo. Sejak desentralisasi memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam kepada daerah, perizinan tambang meledak.
Dari hanya 24 izin pada 2016, menjadi 136 izin pada 2020—lonjakan 467 persen dalam empat tahun! Memang, jumlah perusahaan kemudian turun menjadi 70 pada 2025, tapi jangan salah baca: ini bukan perbaikan, ini konsolidasi.
Lima korporasi besar kini menguasai 58.000 hektar atau 98 persen dari total 59.000 hektar konsesi tambang. Monopoli ekstrim yang menguasai 4,8 persen dari seluruh luas provinsi.
Yang lebih menyakitkan: semua kerusakan ini untuk kontribusi ekonomi yang sangat minim. Sektor pertambangan hanya menyumbang 0,3 persen terhadap PDRB Gorontalo.
Bandingkan dengan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan yang menyumbang 5,08 persen—17 kali lipat lebih besar dengan dampak lingkungan jauh lebih kecil.
Tahun 2017, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari tambang cuma Rp 629,3 juta dari target Rp 4,75 miliar. Investasi mengalir deras, tapi kas daerah dan kantong rakyat tetap tipis.
Kemiskinan Gorontalo 15,15 persen—jauh di atas rata-rata nasional 9,36 persen. Ini bukan pembangunan, ini perampokan terorganisir.
Para ekonom punya istilah untuk fenomena ini: resource curse atau kutukan sumber daya alam. Paradoks di mana daerah kaya tambang justru tumbuh lambat, timpang, dan institusinya lemah karena terjebak rent-seeking—berburu rente tanpa produktivitas nyata.
Gorontalo sedang mengalami ini. Wealth meltdown sedang terjadi: kekayaan alam mencair tanpa menghasilkan kesejahteraan merata.
Lima perusahaan raksasa mengeruk emas dan mineral, sementara rakyat kebagian debu dan lubang bekas galian.
Yang membuat situasi ini semakin menyedihkan adalah lemahnya institusi pemerintah daerah.
Koordinasi antar dinas amburadul, regulasi pusat dan daerah tumpang tindih, SDM terbatas, anggaran monitoring minim, teknologi pengawasan ketinggalan zaman.
Penegakan hukum? Jangan harap. Pertambangan Tanpa Izin (PETI) merajalela, korporasi melanggar izin tapi jarang ada sanksi tegas meski sering ada pengawasan.
Yang lebih ironis, gubernur sendiri mengusung pertambangan sebagai solusi pendapatan daerah. Ini race to the bottom klasik: tekanan Pendapatan Asli Daerah (PAD) memaksa pemerintah melonggarkan regulasi dan menerbitkan izin massal, mengorbankan lingkungan demi angka-angka fiskal jangka pendek.
Sementara elite sibuk berbagi kue tambang, masyarakat lokal terpinggirkan. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)—hak masyarakat untuk tahu, didengar, dan menyetujui sebelum proyek berjalan—hanya jadi jargon.
Konsultasi publik ada, tapi formalitas belaka. Keputusan sudah bulat di ruang rapat tertutup sebelum masyarakat dikasih tahu. Kompensasi lahan rendah, tidak adil, dan sering dipaksakan. Konflik Pohuwato 2023 jadi bukti: warga protes karena tanah mereka diambil dengan harga murah tanpa dialog substantif.
Tapi perlawanan masyarakat terus berlanjut—mobilisasi massa, gugatan hukum, pembentukan organisasi penambang rakyat, advokasi kebijakan. Mereka tidak pasif, hanya suaranya tidak sampai ke ruang keputusan.
Kita harus jujur mengakui: dua dekade otonomi daerah di Gorontalo gagal menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Ini bukan sekadar masalah teknis, ini krisis model pembangunan.
Kita terjebak dalam narasi pertumbuhan ekonomi sebagai satu-satunya indikator kemajuan, melupakan bahwa tanpa fondasi ekologi yang sehat, semua pencapaian itu rapuh. Danau Limboto, hutan, dan mangrove bukan sekadar “sumber daya” yang bisa dieksploitasi tanpa batas.
Mereka adalah sistem penyangga kehidupan jutaan orang, modal alam yang kalau rusak, tak ada uang yang bisa membelinya kembali.
Solusinya tidak sederhana, tapi harus dimulai. Pertama, moratorium izin tambang baru dan audit menyeluruh izin lama. Kita perlu tahu siapa menguasai apa, dampak lingkungannya seberapa parah, dan apakah regulasi dilanggar.
Kedua, penguatan institusi: tingkatkan kapasitas SDM, perbesar anggaran monitoring, dan adopsi teknologi pengawasan modern.
Ketiga, wajibkan FPIC substantif—bukan sekadar rapat formalitas, tapi konsultasi bermakna yang memberi masyarakat hak veto.
Keempat, tetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) berbasis koperasi sehingga manfaat tambang tidak dimonopoli korporasi besar.
Kelima, dan ini yang paling penting: diversifikasi ekonomi.
Gorontalo tidak boleh terus bergantung pada sektor ekstraktif yang merusak dan tidak berkelanjutan.
Provinsi ini punya potensi luar biasa di pariwisata bahari, agro-industri, perikanan berkelanjutan, dan UMKM.
Investasi harus diarahkan ke sana, bukan ke lubang-lubang tambang yang hanya menguntungkan segelintir orang.
Rehabilitasi ekosistem juga mendesak: program pemulihan Danau Limboto, reboisasi mangrove, dan penghijauan hutan dengan target terukur dan partisipasi masyarakat.
Terakhir, transparansi dan akuntabilitas. Semua data izin tambang, hasil monitoring lingkungan, dan audit harus dipublikasikan secara terbuka. Rakyat berhak tahu siapa menguasai tanah mereka, berapa keuntungan yang didapat, dan berapa yang masuk ke kas daerah.
Tanpa transparansi, korupsi dan rent-seeking akan terus subur.
Gorontalo hari ini berdiri di persimpangan. Satu jalan melanjutkan model pertumbuhan ekstraktif yang menguras alam dan memperlebar jurang ketimpangan.
Jalan lain menuju pembangunan berkelanjutan yang menghormati batas-batas ekologi dan memberi ruang bagi masyarakat lokal.
Pilihan ini bukan hanya urusan gubernur atau DPRD, tapi tanggung jawab kita semua—jurnalis, akademisi, aktivis, dan warga Gorontalo.
Dua puluh empat tahun otonomi daerah sudah mengajarkan kita satu pelajaran pahit: desentralisasi tanpa tanggung jawab ekologi adalah resep bencana. Sekarang waktunya memilih jalan yang berbeda, sebelum terlambat. (***)











