Headlines

PANGGUNG 

292
×

PANGGUNG 

Sebarkan artikel ini

Oleh: Prof. Fory A. Naway
Guru Besar UNG dan Ketua PGRI Kabupaten Gorontalo

UNGKAPAN yang mengatakan bahwa hidup adalah “Panggung sandiwara” mengandung kebenaran yang sulit terbantahkan. Disebut demikian, karena setiap orang,.siapapun dia sudah diberikan “lakon” sebagai skenario yang menjadi suratan yang harus dimainkannya.

Di sana ada skenario, berupa suratan takdir, di sana juga ada penonton yang melihat,.mengamati dan terkadang bertepuk tangan, bertepuk sebelah tangan, bahkan membicarakannya, mentertawakannya,. Dalam lakon tertentu ada juga yang turut sedih prihatin, bahkan ada yang senang, ceria ada juga yang mungkin mencemooh karena tidak suka dengan lakon yang kita mainkan

Itulah hidup, berbuat benar, bisa saja menjadi salah di mata orang lain, sebaliknya, berbuat salah, bisa saja menjadi benar di hadapan orang lain. Memilih tidak melakukan apapun, juga sudah pasti mendapat tanggapan dan dipastikan menjadi buah bibir dari orang lain.

Tentu sebagai manusia yang berakal, menghadapi fenomena itu bukan menjadi sebuah problem yang merisaukan, meresahkan dan membuat salah tingkah. Akal sehat lagi-lagi menjadi perisai untuk menguatkan, mengokohkan dan memperteguh prinsip yang kita anggap baik dan benar.

Terkadang dalam hidup ini, bersikap “bodo amat” itu penting dari pada “amat bodo”. Bodo amat akan membebaskan kita untuk melakukan apapun yang dianggap baik dan benar, tanpa harus perduli dan memperhatikan apa kata orang.

Bagaimanapun, kita terlahir dan hidup bukan untuk memuaskan dan menyenangkan hati semua orang, tapi menjadi orang yang puas, senang dan bahagia untuk berbuat baik dan bermanfaat bagi orang banyak. Seseorang yang selalu berpikir tentang “apa kata orang” tidak akan pernah berani bertindak dan beranjak dari “kestatisan”.

Sementara di sisi lain, hidup ini harus bergerak, dinamis dan progresif. Jika memilih bergerak, maka ibarat mobil yang tengah melaju, menemui berbagai hal, terkadang menemui jalan yang mulus, jalan yang berlubang, mendapati pepohonan yang rindang dan berbuah, pepohonan yang gersang, menemui jalan yang menanjak, jalan yang menurun dan pemandangan lainnya.

Menemui semua pemandangan dengan berbagaI corak dan ragam itu, apakah kita harus berhenti, kemudian menggerutu dan menanggapinya? Tentu tidak, karena itu bukan “tujuan”, tapi sesuatu yang mesti dilalui agar kita selamat hingga sampai pada satu titik yang menjadi tujuan hakiki dari sebuah perjalanan hidup.

Oleh karena itu, sungguh sebuah kesia-siaan, jika hidup ini “tersita” dan tercurahkan pada sesuatu yang bukan pada substansi tujuan hidup yang sesungguhnya. Artinya, apapun “kata orang” ibarat hidup ini sedang dalam perjalanan menyetir mobil, maka cukup dilihat dan dilewati saja, jangan sekali-sekali berhenti, melainkan melajulah di jalan lurus hingga sampai pada tujuan dengan selamat.

Mengapa hal itu penting, karena dalam hidup ini, begitu banyak ruang di mana terdapat “sampah” yang berserakan, terdapat bisikan setan dan iblis yang setiap saat tidak pernah berhenti untuk menjerumuskan manusia, bahkan sudah menjadi suratan takdir, bahwa dalam dunia ini, selain terdapat orang baik yang senantiasa merawat pikiran dan akal sehatnya, ada juga orang-orang yang enggan merawat pikiran dan akal sehatnya hingga menjelma menjadi licik, jahat, sombong, iri hati, dengki, suka menghasut dan senang mengadu domba orang lain.

Dalam sejarah perjalanan ummat manusia di muka bumi ini, begitu banyak kisah dan cerita, tentang bagaimana pergumulan antara orang yang meniti jalan pada jalur “Al-Haq” dan orang yang berada dalam jalan “kebatilan”. Di sinilah pentingnya, nilai-nilai keluhuran budi itu sangat penting ditanamkan pada jiwa setiap insan agar hidupnya tidak menjadi “bumerang” dan pengganggu bagi orang lain yang tengah berada di panggung kehidupannya sendiri.

Setiap orang, siapapun dia, telah dianugrahi panggung kehidupan masing-masing, dimana setiap orang dapat berekspresi menjalani skenario kehidupan yang telah ditentukan.

Dengan begitu, tidak ada alasan bagi siapapun untuk saling mengganggu, saling bermusuhan, apalagi saling berebutan panggung. Ada ungkapan bijak yang mengatakan, setiap orang sudah memiliki takaran “rezeki” masing-masing.

Sekeras apapun ia mengejar, kalau bukan rezekinya, tidak akan pernah berhasil mengejarnya, dan sekuat apapun seseorang menghindar, rezeki itu akan tetap bersikeras mendatanginya. Sesungguhnya hal itu menjadi sebuah suratan takdir yang tak terbantahkan.

Tugas manusia sebenarnya hanya berusaha, berikhtiar, berdoa dan berbuat baik dibawah RidhaNya. Pemaknaan dan kesadaran kolektif tentang hakekat kehidupan itu sangat penting, dalam kerangka meminimalisir berbagai fenomena yang menjurus pada tindakan destruktif dalam bidang apapun yang justru dapat mendekonstruksj harkat dan martabat kemanusiaan.

Jika dikorelasikan ke dalam ranah pendidikan karakter di sekolah-sekolah, maka sejatinya penghayatan dan pemaknaan nilai-nilai kehidupan itu dimulai dari bangku pendidikan. Elemen guru dalam konteks ini dapat menghadirkan ruang ekspektasi kepada setiap anak didik untuk menghayati setiap peristiwa dan kejadian yang menggejala dalam kehidupannya.

Jika perlu anak didik diarahkan untuk menulis peritiwa-peristiwa yang bersentuhan langsung dengan kemanusiaan, kemudian siswa itu memaparkan hasil tulisannya itu kepada anak didik. Dari cara ini, seorang guru dapat mengamati ekspresi anak didik yang dapat menggambarkan sejauhmana naluri kemanusiaannya itu dapat tersentuh.

Hal itu sekali lagi penting, karena dalam realitas kehidupan di muka bumi ini, salah satu pemicu adanya permusuhan, konflik, perseteruan bahkan peristiwa yang menjurus pada tindak kekerasan fisik, lebih disebabkan oleh gesekan-gesekan dan ketersinggungan-ketersinggungan, akibat kurangnya penghayatan terhadap hak-hak individu yang sebenarnya memiliki panggung kehidupan sendiri-sendiri.

Fenomena merebaknya fitnah, iri hati, dengki, dendam, keserakahan dan sebagainya, merupakan bagian dari kurangnya penghayatan terhadap hakekat hidup yang sesungguhnya,.bahwa hidup adalah “panggung sandiwara”, maka sejatinya, tidak perlu lagi ada sandiwara dan drama dalam sandiwara. Semoga. (*)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *