ELEHIYA

729
ADV
10

Oleh: Fory Armin Naway
Guru Besar UNG dan Ketua ICMI Kabupaten Gorontalo

ISTILAH “elehiya” mungkin sudah terasa dan kedengaran asing di telinga masyarakat Gorontalo, khususnya di kalangan generasi mudanya. Elehiya merupakan bagian dari kata sifat, yakni upaya untuk menghindari atau menjauhkan diri dari perbuatan atau tindakan yang tidak terpuji yang jauh dari nilai-nilai moralitas yang dapat merusak dan merendahkan martabat seseorang atau dapat merusak tatanan di masyarakat. Elehiya memiliki makna yang sama dengan istilah “molahiya” atau “mopolahiya” “popolahiya” atau menghindarkan diri dari tindakan yang tidak terpuji. Itulah sebabnya dalam tataran masyarakat Gorontalo, dikenal masyarakat “Polahi” yakni sekelompok masyarakat “Ta Lo Lahi”, “Ta lopolahi” yakni sekelompok masyarakat Gorontalo zaman dulu yang  menghindarkan diri dari penjajahan Belanda kala itu. Artinya, dari pada tunduk bekerjasama, menghamba dan takluk pada Belanda,  lebih baik mereka menghindar diri ke hutan belantara. Itu adalah pilihan yang tepat untuk menghindari konflik fisik dengan Belanda. Elehiya dengan demikian, merupakan bagian dari karakter asli masyarakat Gorontalo untuk mencegah dan menghindar diri, salah satunya dengan mengasingkan diri dari pada terjebak pada kehidupan yang tidak sesuai dengan hati nurani.  Itulah salah satu karakter orang Gorontalo yang pada umumnya tidak ingin terjebak pada konflik, baik konflik fisik maupun konflik psikis. Hal itu tidak terlepas dari trauma sejarah, jauh sebelum VOC Belanda datang menginjakkan kaki di bumi Gorontalo,  Ketika itu, Linula Limutu dan Linula Hulonthalangi pernah  terlibat konflik yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit yang berlangsung sekitar 200 tahun lamanya. Dari sini akhirnya, orang Gorontalo selalu memilih “menghindar” dari pada terjebak pada konflik. Upaya menghindarkan diri dari konflik fisik inilah akhirnya terus menjelma ke dalam benak masyarakat Gorontalo hingga menjelma menghindarkan diri dari konflik batin maupun konflik psikis. Apalagi dengan masuknya Islam ke Gorontalo, maka upaya menghindarkan diri dari perilaku tidak terpuji semakin kuat dan mengakar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, di tengah kehidupan masyarakat modern saat ini dan ke depan, istilah elehiya ini patut dan sangat penting untuk dihidupkan kembali di tengah masyarakat. Jika ada sifat-sifat tidak terpuji, tidak mendidik dan perbuatan yang merendahkan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan yang merebak di media sosial seperti facebook misalnya, maka masyarakat Gorontalo patut berucap “Elehiya ma’o” , atau menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak terpuji itu. Bahkan jika ada peristiwa dan kejadian yang memiriskan hati, seperti kasus pencurian, kasus narkoba dan tindak kriminal lainnya, maka orang Gorontalo seyogianya berdoa agar hal itu “Po elehiya ma’o” atau kita terhindarkan dan dijauhkan dari semua itu. Elehiya dengan demikian , merupaka  istilah yang mengandung arti sebagai  pilihan, ikhtiar dan doa.  Menjadi pilihan, karena  potensi untuk berbuat dan bertindak itu  tersaji 2 elemen yang kontradiktif, ada yang baik dan ada yang tidak baik. Elehiya ma’o yang tidak baik agar kebaikan dan nilai-nilai keluhuran selalu terpancar. Itulah salah satu sisi positif bahasa Gorontalo yang ternyata tidak hanya berfungsi sebagai wahana berkomunikasi masyarakat Gorontalo semenjak dulu, tapi terdapat banyak istilah-istilah dalam bahasa Gorontalo yang memiliki nilai-nilai pengajaran yang sungguh sangat bermakna untuk dihayati untuk mewujudkan kehidupan yang konstruktif. Itulah sebabnya sangat disayangkan jika kemudian bahasa Gorontalo mulai ditinggalkan oleh orang Gorontalo sendiri. Artinya, tidak perduli dengan bahasa Gorontalo sama saja dengan tidak perduli dan menyia-nyiakan “mutiara” kehidupan. Disebut demikian, karena dalam bahasa Gorontalo sendiri terdapat banyak istilah-istilah yang mengandung makna dan hakekat yang tersembunyi di dalamnya yang sangat penting untuk digali dan dihayati oleh generasi Gorontalo. Sebutlah misalnya, istilah Tanggomo, wuleya Lo Lipu, Mopomulo, Tau’wa dan masih banyak lagi, kesemuanya itu mengandung makna dan hakekat yang sungguh sangat penting untuk diwariskan secara turun-temurun. Kembali ke dalam konteks pemaknaan kata “Elehiya” di atas, ternyata jika dimaknai lebih mendalam lagi, i mengandung relevansi pengajaran dengan “pengendalian diri”  dan sangar dekat dengan hakekat takwa dalam perspektif ajaran Islam. Yakni dengan kesadaran tinggi menghindari segala perbuatan yang dilarang dan dengan penuh tawakal serta konsisten menjalankan segala perintahNya. Melalui penghayatan terhadap nilai-nilai warisan leluhur Gorontalo yang tercermin dari berbagai istilah-istilah di Gorontalo akan mengukuhkan eksistensi dan jati diri masyarakat Gorontalo sebagai daerah adat yang bersendikan Syara’ dan Syara’ bersendikan Al Qur’an. Juga akan mengukuhkan eksistensi Gorontalo sebagai daerah Serambi Madinah. Menjaga nama baik dan meneguhkan kemurnian predikat daerah ini sebagai daerah adat yang berjuluk serambi Madinah, jelas menjadi tantangan tersendiri. Hal itu penting agar predikat ini tidak hanya menjadi julukan dan slogan semata tapi tercermin dari perilaku keseharian masyarakat Gorontalo yang selalu “mo elehiya” atau menghindarkan diri dari perilaku-perilaku yang destruktif. Sungguh sangat ironis jika Gorontalo hari ini ramai dengan pemberitaan tentang asusila, narkoba bahkan perampokan dan kasus pembunuhan. Semoga semua itu ” Po elehiya ma’o dari Gorontalo. Aamiin. *

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *