HeadlinesHukrim

Prof Rustam Akili Soroti Putusan MK soal Batas Usia Minimal Capres dan Cawapres

4085
×

Prof Rustam Akili Soroti Putusan MK soal Batas Usia Minimal Capres dan Cawapres

Sebarkan artikel ini

Penulis : Indra Bakari

Editor : Indra Bakari

GORONTALO (RG.COM) – Prof. Dr. H. Rustam Hs Akili, SE, SH, MH, guru besar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara Universitas Gorontalo menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara Nomor 90/PUU-XXl/2023 tentang ketentuan batas usia minimal capres dan cawapres.

Sorotan Prof Rustam disampaikannya dalam orasi ilmiah usai dirinya dikukuhkan sebagai guru besar, Selasa (28/11) kemarin.

Ia menyebut, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sering dilakukan adalah tentang pengujian undang-undang.

Menguji sejauh mana undang-undang yang bersangkutan bersesuai atau bertentangan dengan Undang Undang Dasar.

Menurut pasal 51 ayat 3 Undang Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, terdapat 2 macam pengujian undang-undang yaitu :

  1. Pengujian undang undang secara formal (formele toetsing) yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena proses pembentukan undang-undang tersebut dianggap pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar.
  2. Pengujian undang-undang secara materiil (materieele toetsing), yakni pengujian terhadap suatu undang-undang dilakukan karena terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

“Pengujian undang undang yang menjadi kontroversi saat ini adalah terkait dengan pengujian pasal 169 huruf q Undang Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan
oleh Mahasiswa Universitas Surakarta yang bernama Almas Tsaqibbirru. Melalui perkara tersebut Almas meminta kepada Mahkamah Konstitusi menguji pasal tersebut agar menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota,” ungkap Prof. Rustam.

Lanjut kata dia, kemudian Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian
gugatan tersebut yang dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal 169 huruf q undang undang pemilu menjadi berusia paling rendah 40 (empat puluh tahun) atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.

“Dari putusan Mahkamah Konstitusi ini saya berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi bersifat ganda karena di satu sisi Mahkamah Konstitusi sepakat bahwa usia Capres dan Cawapres itu open legal policy dan sepenuhnya kewenangan pembentuk undang – undang, akan tetapi dalam perkara nomor 90 ini Mahkamah Konstitusi menambahkan frasa yang sebenarnya tidak mengukuhkan usia 40 pun boleh, sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan kepala daerah baik bupati atau walikota atau jabatan lainnya yang dipilih melalui pemilihan umum,” paparnya.

“Yang paling janggal adalah Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan ini, padahal sebelumnya pemohon sudah mencabut permohonannya tersebut, sehingga sudah seharusnya gugatan tersebut ditolak,” kritik Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara Universitas Gorontalo itu.

Ia menyampaikan, jika dilihat dari pandangan ketatanegaraan, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengapa putusan No. 90/PUU-XXI/2023 dikatakan inkonstitusional.

Prof Rustam menilai, legal standing pemohon sangat lemah, namun dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon yang merupakan seorang mahasiswa dari Surakarta hanya menyandarkan kedudukan hukum pada keinginan pemohon menjadi Presiden dan terinspirasi pada Walikota Solo, Gibran Rakabuming sebagai idolanya.

Keterangan legal standing Pemohon juga hanya dimuat dalam 3 halaman saja. Pemohon kemudian tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang jelas.

Basis kerugiannya hanya dilandaskan atas dasar kekaguman Pemohon kepada Gibran
Rakabuming sebagai Walikota Solo, yang tidak bisa menjadi Calon Wakil Presiden akibat keberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q. Undang – Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

“Dalil tersebut tentunya tidak memiliki hubungan langsung dengan pemohon. Hal
ini tentunya bertentangan dengan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami langsung, serta bersifat spesifik dan aktual. Seharusnya yang mengajukan permohonan ini adalah Gibran Rakabuming karena memiliki kerugian konstitusional yang jelas dan dialami langsung oleh pemohon. Pemohon bukanlah orang yang sudah berusia cukup dan melampaui batas usia untuk menjadi calon kepala daerah. Pemohon juga bukan seorang kepala daerah atau anggota legislatif, yang pernah dipilih melalui pemilihan umum. Tapi Mahkamah Konstitusi dengan mudah memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat jadi pemohon,” jelasnya.

Di samping itu, penjelasan mengenai kerugian konstitusional juga tidak menyentuh petitum tentang syarat alternatif terkait pejabat terpilih atau elected official yang diajukan pemohon.

“Artinya, kerugian tidak terkoneksi dengan petitum dan alasan permohonan, sehingga
legal standing-nya menjadi lemah. Namun Mahkamah Konstitusi yang seharusnya ketat dalam memeriksa persoalan legal standing, justru seolah melunak dengan mudah menerima kedudukan hukum pemohon. Sungguh ini menjadi pertimbangan yang sangat memalukan dan melecehkan Konstitusi,” tegasnya.

Selebihnya Prof Rustam menggambarkan fakta-fakta dari proses pengambilan keputusan MK terhadap perkara Nomor 90 itu yang memang dinilainya tidak dilakukan dengan proses yang adil. (RG-56)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *