KABGOR – Media Sosial atau Medsos saat ini sudah menjadi konsumsi sebagian besar masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan orang tua sekalipun, semuanya sudah akrab dengan media sosial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Medsos seakan sudah menjadi kebutuhan dan menjadi wahana komunikasi dan interaksi yang efektif yang banyak digunakan oleh orang banyak, termasuk mereka yang tinggal di pelosok desa sekalipun.
Fenomena media sosial ini jelas telah berpengaruh terhadap perubahan sosial. Menurut Kinsley Davis (dalam Soekanto, 2009 : 262), perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan.
Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yakni kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat dan sebagainya.
Fenomena ini merupakan instrumen penting yang menjadi rujukan, bahwa dengan medsos, setiap orang dapat dengan mudah mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi dan dengan medsos pula setiap orang seperti memasuki “hutan belantaranya” informasi.
Meski demikian, fenomena medsos juga sangat berpengaruh pada perubahan karakter, sikap, perilaku dan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
Hal itu terjadi, salah satunya dipicu oleh berbagai faktor yang mendasarinya. Selain itu, medsos juga memberikan ruang kebebasan kepada setiap orang.
Artinya, dengan media sosial, setiap orang bebas mengekspresikan apa yang hendak ia ekspresikan, diantaranya aspirasi, suara hati, keluh-kesah dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh seseorang di manapun ia berada.
Dalam realitasnya, kebebasan berekspresi melalui medsos, di satu sisi membawa dampak positif, namun di sisi yang lain juga membawa dampak negatif.
Instrumen penting yang menentukan dampak baik-tidaknya medsos, sangat bergantung pada sejauh mana performance sikap, perilaku dan karakter setiap individu.
Dengan kata lain, fenomena Medsos akan menjadi baik dan berdampak positif pada orang yang baik dan sebaliknya akan membawa dampak negatif apabila di tangan orang yang tidak baik.
Dari berbagai fenomena yang mencuat belakangan ini menunjukkan bahwa tingkat kebermanfaatan medsos sangat bergantung pada konten dan konteks yang dihadapi oleh setiap individu.
Hanya saja dalam manifestasinya, ada-ada saja sikap “salah kaprah” yang tidak hanya merugikan secara individual maupun para netizen.
Dengan demikian, medsos disatu sisi merupakan kebutuhan, namun dalam dimensi yang lain, medsos juga menjadi instrumen penting yang berpotensi menjadi “ladang” empuk sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, medsos sejatinya dapat dimaknai secara lebih bijak dan bertanggung-jawab sebagai wahana yang memberi ruang positif, baik untuk dirinya dan orang lain.
Dalam konteks ini, medsos dapat dipandang bukan menjadi tempat untuk menebar kebencian, mengumbar dendam dan amarah, saling menyakiti satu dengan yang lainnya, maupun mengumbar aib yang memalukan dan menyakiti orang lain.
Ketika mendapatkan kesan yang tidak baik dari orang lain misalnya, tidak harus diekspresikan melalui medsos. Karena sesungguhnya medsos bukan wahana untuk sindir-menyindir, bukan alat untuk menjustifikasi dan memojokan, menyudutkan apalagi hendak melayangkan tudingan-tudingan yang tendensius pada orang lain.
Dalam kalimat yang sederhana, dalam bermedsos setiap kita dituntut untuk senantiasa merujuk pada keluhuran budi yang berbasis pada nalar, naluri dan nurani dengan fondasi iman yang teguh.
Pernah terjadi, hanya karena seseorang diberikan wejangan dan nasehat karena berbuat kesalahan dan kekeliruan yang sudah melampaui batas, namun ia membalas nasehat itu justru dengan tudingan sindiran yang tidak elok yang diumbar melalui Facebook.
Masih banyak contoh kasus, betapa kita belum sepenuhnya dewasa dalam bermedsos. Buktinya, begitu banyak deretan kasus yang menuai persoalan hukum yang seakan tak henti-hentinya merebak di tengah masyarakat.
Fenomena ini jelas menjadi rujukan berharga bahwa dalam realitasnya bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini disatu sisi memberikan ruang kebebasan, tapi kebebasan yang bertanggung jawab.
Pikiran dan ibu jari wajib diarahkan dan dituntun oleh “akal sehat’ bukan dengan akal bulus dan akal fulus yang justru mendekonstruksi relung-relung kemanusiaan yang melekat ke dalam setiap jiwa yang hidup.
Akal dan kalbu adalah dua instrumen yang setiap saat selalu bergelut, yang menguji sejauh mana penghayatan nilai-nilai humanisme yang menjadi jati manusia yang sesungguhnya. (RG.53)